Thursday 17 December 2015

My Memoirs about You; Kukira Ini Hanya Dunia, Namun Ternyata Akhirat Juga [Part II]

Tiupan angin siang itu menambah anggun dirimu. Mengenakan jilbab lebar seperti terakhir kali aku mellihatmu membuatku seakan tak merasakan kemana perginya lima tahun terakhir. Seiring ojek yang kukendarai mendekati rumahmu, aku memandangmu namun seketika tertunduk tak tentu sebab. Aku terus menghindari bertemu pandang denganmu hingga akhirnya ojek yang kunaiki berhenti tepat didepan rumahmu. Aku turun perlahan. Bertanya kepada sang pengendara ojek berapa rupiah yang harus aku bayar. Aku sudah tau sebenarnya, hanya saja kenyataan bahwa kau tepat dibelakangku berdiri menunggu membuatku canggung. Badanku hampir tak dapat aku kendalikan. Aku mengulur waktu agar tubuh dan hatiku siap menghadapi hal luar biasa yang sejenak lagi akan kualami, bertemu dan berbicara padamu.

Setelah menyelesaikan muamalah dengan pengendara ojek yang kutumpangi, aku berbalik dan sosokmu tepat berada di hadapanku. Aku memandangmu sejenak kemudian melempar pandang ke tanah. Hatiku bergetar, kakiku gemetar. Belum lagi hatiku kembali normal, kau membuka suara. Dengan sopan engkau mempersilahkanku untuk masuk ke rumahmu. Mendegar suaramu aku runtuh seketika. Aku tak dapat lagi mengendalikan jiwa dan pikiran ku. Sejenak aku mendapati diriku larut dalam kenangan masa SMA saat sosok dan suaramu adalah hal yang mengiringi hari-hariku di kelas. Aku mendengarmu, mendengar setiap jawabanmu saat ditanyai oleh  guru. Mendengar gelak tawamu saat kau bercanda dengan teman di bangkumu saat jam istirahat. Aku melihat sosokmu, melihatmu saat kau mengambil spidol dan menulis jawaban dari pertanyaan yang diberikan oleh guru didepan kelas kita, pun saat kau berlalu di depan pintu. Ribuan kenangan itu serasa dicucurkan langsung ke alam pikiranku. Aku hanya membiarkan diriku larut dan tak berkeinginan untuk kembali tersadar. Aku hanya manusia biasa, aku bisa apa.

Aku berjalan mengikutimu masuk kedalam rumahmu, hatiku masih berdegup kencang, kakiku masih gemetaran. Kau mempersilahkanku duduk dan tanpa basa basi aku menanyakan dimana kamar mandi saat itu. Perjalanan panjang Ciputat - Serpong membuatku acak-acakan. Aku tak gagah, aku tau itu. Satu dua sapuan sisir tak akan mengubah kenyataan itu seketika. Namun aku tak ingin terlihat buruk didepanmu. Terutama saat itu. Setelah merapikan pakaianku, aku berwudhu. Ah aku belum shalat zuhur ujarku dalam hati. Aku keluar dari kamar mandi dan meminjam tempat agar aku bisa shalat. Didalam doaku, aku meminta Yang Maha Pemberi Rizki Meridhai segala usahaku. Memberikan keputusan terbaik atas pertemuanku denganmu. Tak lupa kuselipkan doa agar engkau, kakak-adikmu, ayah-bundamu serta keluargamu menjadi keluargakupun kelak.

Papamu telah duduk disana, menantiku menyelesaikan shalatku. Sejujurnya aku tak siap jika harus bertemu dengan papamu. Tapi aku paham bahwa dengan aku menginginkanmu aku harus menunjukkan itikad baik itu kepada papamu. Akupun jika kelak menjadi seorang ayah, tak akan kubiarkan sembarang lelaki menghubungi putriku. Aku akan menjaga putriku seperti yang papamu lakukan padamu. Aku belajar banyak dari sosok papamu hari itu.

Aku duduk tepat diseberang papamu. Kau masih sibuk didapur menyiapkan minuman saat itu. Aku mulai membuka suara. Memperkenalkan diriku pada papamu. Menjelaskan maksud kedatanganku hari itu. Percakapan dimulai. Aku mulai bercerita tentang diriku, mencoba meyakinkan pada papamu bahwa aku datang dengan niat yang baik. Mencoba meyakinkan papamu bahwa aku mampu menjadi imammu. Menafkahi dan mendidikmu. Aku ceritakan semuanya hingga tak terasa percakapan itu hanya tentang diriku saja. Menyadari itu aku berhenti kemudian mulai menanyakan tentang sosokmu dimata papamu. Di saat itu kau kembali dari dapur dan duduk disebelah papamu dan mulai mendengarkan. Papamu terdiam sejenak, memandangmu kemudian berkata betapa lugunya dirimu dan bahwa tak pernah ada lelaki yang sampai sejauh dimana aku berdiri sekarang. Seketika mataku terbuka, aku mulai memahami bahwa papamu tak perlu seorang sosok sombong yang merasa mampu dan percaya diri untuk menjadi imammu. Itu penting namun yang papamu lebih inginkan sangat sederhana namun begitu susah dipenuhi. Bahwa papamu menginginkan agar lelaki yang memilikimu nanti bisa menggantikan posisinya dengan sempurna, dengan segala lebih dan kurangnya, lelaki itu mampu mencurahkan rasa sayang dan rasa cintanya padamu. kalaupun tak lebih, sekurangnya seperti yang papamu berikan selama ini padamu. Aku melihat ketidakikhlasan di mata papamu saat mengatakan itu, aku tahu bahwa dia tak akan pernah yakin ada sesorang yang bisa menggantikan perannya dalam menyayangimu sepanjang hidupmu. Aku melihat bahwa papamu bahkan tak siap jika kau harus bersama laki-laki yang sama sekali asing baginya. Aku melihat semua itu dan aku sadar ini tak lagi tentang perasaan suka dan cinta. Ini adalah tentang mengambil seluruh tanggung jawab dari seorang ayah dan meletakkannya di pundakku. Sebuah tanggung jawab yang sangat besar dengan konsekuensi surga atau neraka bagiku. Aku sadar dan aku merasa malu, sangat malu dihadapan papamu saat itu. Rasa percaya diriku runtuh, rasa bangga yang kubawa dipundakku terasa tak ada nilainya. Papamu menekukku hanya dengan dua sampai tiga kalimat darinya. Aku tertunduk memandang meja. Aku tersadarkan, aku telah paham.

Bersambung..

Tuesday 27 October 2015

My Memoirs about You; Semua Tentangmu, Indah Dimataku [Part I]

Deru motor melaju memecah suasana jalanan Tangerang siang itu, aku berujar kepada pengemudi ojek yang kunaiki.
“Mas bisa lebih cepat lagi, tolong?” bisikku sembari mengecek jam yang kupinjam dari abangku sebelumnya.
Si mas ojek tampak tak peduli dengan permintaanku, ia tetap melaju normal, tak tampak ada keinginan untuk  memenuhi permintaanku. Aku menghela napas. Aku telat.

Hari Sabtu kala itu, sedari pagi aku telah terjaga. Aku merapikan badan secepatnya kemudian berangkat ke pasar di bilangan Ciputat. Aku menembus pasar tradisional yang masih lengang itu, memegang secarik kertas berisi hal-hal yang hendak kubeli.
Tidak biasanya aku sesibuk itu dihari liburku. Di hari yang sama dengan keadaan biasa aku mungkin masih asyik bersandar di tempat tidur busa milik abang ku, berselimut sarung sembari memeluk bantal seakan-akan aku dan bantalku adalah teman baik yang kembali bertemu setelah puluhan tahun berpisah. Tetapi hari itu adalah pengecualian. Hari itu bukanlah hari biasa. Hari itu adalah hari aku akan bertemu engkau, sebuah jiwa yang tetiba merenggut kenikmatan atas kesendirianku, berganti dengan keinginan yang sangat untuk bersama berdua. Sebuah pribadi yang tanpa berbicara dengan kata-kata menyelaku akan segala kekuranganku dan menegurku atas kelalaian yang selama ini kupertahankan. Dialah engkau wahai sang Putri Kedua. Harapan yang telah dipendam sekian lama agar bisa bertatap muka denganmu setelah lebih dari lima tahun tak bersua melejitkan semangatku pagi itu.

Setelah menyelesaikan semua hal yang tertulis di daftar yang kubawa, aku bergegas pulang ke kosan abangku.
“Jadi bertemu dengannya?” suara abangku membuyarkan konsentrasiku yang sedang mematut penampilan didepan cermin.
“InshaAllah” ujarku.
“Semoga dimudahkan Allah” balas abangku.
“Aamiin, Makasih bang” jawabku sembari terus sibuk bersiap diri.
“Aku berangkat bang,  Assalamu'alaikum!” teriakku sambil berlari keluar kamar.
Inilah saatnya, detik demi detik kedepan puluhan kilometer jarak yang membentang diantara kita akan sedikit demi sedikit berkurang, membayangkan hal itu, timbul rasa gugup di dadaku, aku gugup , sangat gugup.

“Serpongnya dimana dek?” tanya pengemudi ojek menyadarkanku dari lamunku.
Aku melirik handphoneku yang sudah stand by dengan aplikasi peta Jabodetabek.
“Lurus lagi bang, Serpong Mas Blok E” ujarku.
Si abang dengan sigap meliuk-liuk di sibuknya jalanan serpong, hingga tetiba dia mengambil belokan kekiri dan berujar.
“Ini Serpong Mas, masuk ya dek” akupun mengangguk tanda setuju.

Tak jauh berjalan sampailah aku didepan gerbang blok yang dimaksud. Setelah menjawab beberapa pertanyaan sang penjaga gerbang aku melaju menuju rumah engkau. Hatiku berdegub kencang. Dari jauh aku melihat seorang gadis berdiri terpaku. Hijabnya berkibar tertiup angin siang itu. Aku yang sedari jauh telah melihat pemandangan itu hanya dapat tersenyum. Aku mengenal sosok tersebut. Sosok yang tak pernah kulihat lagi dalam 5 tahun terakhir. Itulah engkau, sang bidadari yang selama ini aku puja. Engkau menungguku didepan rumahmu. Seberkas cahaya memancar jelas dari matamu. Menyiratkan seberkas warna yang akupun tak tau artinya apa. Engkau tersenyum, aku tersenyum. Setelah sekian lama aku melihatmu lagi. Dan kau masih tampak sangat indah, dimataku.

Bersambung..

Wednesday 5 November 2014

Do I make You Proud, Dad? (Aku Punya Cerita Part II)

Sudah lama tidak menulis sesuatu, malam ini ingin rasanya menulis kembali, jemari ku sudah baku sehingga jika tulisan ini tidak bagus nanti nya harap pembaca berbohong demi kelangsungan serial "Aku Punya Cerita" ini. Serial "Aku Punya Cerita" pertama kali dipublish tahun 2010, saat Ayah sedang berulang tahun. Malam ini aku sengaja menulis karena aku ingin bercerita tentang sosok ayah dalam membesarkan kami.

Ayah adalah seorang yang keras, aku bisa mengerti mengapa beliau mendidik kami dengan keras, well itu karena beliau juga dididik dengan keras. Ayah dari ayahku terkenal keras dan sadis (lebay mode on), siapa yang tidak kenal Inyiak Muncak (begitu aku seharusnya memanggil kakek ku itu), hunt addict dan terkenal baik ke semua orang di desa.

Kembali ke ayahku, selain didikan yang keras dari kakek, ayah juga punya masa kecil yang pahit, harus hidup dalam keterbelakangan ekonomi, aku masih ingat saat ayah bercerita bagaimana dia harus berjalan kaki dari kediamannya di Kapeh Panji ke Garegeh untuk menuntut ilmu (kuliah saat itu), jarak yang sangat jauh menurutku. Belum lagi dengan mengabaikan sakit kaki beliau yang sudah dideritanya sejak muda. Atau cerita tentang bagaimana ayah dengan segala keterbatasan tersebut mampu menjadi yang terbaik di Aliyah nya. Aku bangga saat pertama kali ayah cerita itu tetapi seiring waktu akibat seringnya ayah menceritakan hal tersebut, aku juga jadi tidak bisa lagi menangkap pesan yang tersirat dalam cerita itu.

Aku tidak akan bercerita tentang masa lalu ayah, biarlah itu jadi cerita indah ayah yang akan selalu aku kenang sebagai motivasi ku dalam menjalani hidup yang kejam ini. Aku akan bercerita bagaimana ayah membentuk kami hingga menjadi seperti sekarang ini. Aku tidak akan mulai dengan ceritaku, tapi aku akan memulainya dengan saudara ku yang paling tua, abangku.

Abang bisa kubilang adalah copy-paste nya ayah, sosok yang keras, berwibawa, pantang menyerah, pintar dan beridealisme. Tidak hanya dari segi sifat tapi juga dari raut muka. Dia sangat mengkopi ayah. Aku mafhum kenapa dia saat ini punya karakter keras pula. Dari kami bertiga jika dibandingkan siapa yang paling menderita semasa kecil bisa kupastikan abangku ini lah orangnya. Aku masih kecil saat itu saat ayah marah besar ke si abang dan mengurung abang di WC yang tak terpakai lagi yang sama sekali tidak memiliki penerangan sedikitpun. Raungan abang memohon maaf ayah menggelegar ke langit desa, saat ayah murka seperti itu tak kan ada kata maaf dan tak kan ada yang berani mengotak-atik keputusan ayah. Malam itu abang harus menginap di WC gelap itu. Belakangan baru ku ketahui bahwa tuo (panggilan untuk nenekku) lah yang mengeluarkan abang diam-diam. Alhasil, esok paginya abang bangun dengan bentolan-bentolan kecil akibat gigitan semut api yang sudah lebih dahulu menghuni WC tersebut.

Lain abang lain diriku, aku juga turut merasakan kerasnya didikan ayah saat kecil. Walaupun tak sekeras saat ayah mendidik abang, namun apa yang ayah ajarkan lewat didikan-didikan kerasnya mampu terpatri dalam sanubariku hingga sekarang. Salah satunya yang masih jelas dalam memoriku adalah saat ayah pulang dari kantor siang itu, hari itu adalah hari Jumat. Ayah pulang sebelum waktu shalat Jumat. Sedikit untuk diketahui sebelum Pengadilan Agama melebur kedalam Mahkamah Agung, khusus hari Jumat pegawai PA diperbolehkan pulang sebelum siang. Seperti biasanya aku dan ayah berangkat ke Masjid untuk menunaikan shalat Jumat bersama. Aturan ayah mengenai shalat Jumat sangat jelas. Aku tidak diperbolehkan shalat ditempat lain. Aku harus selalu disamping ayah saat shalat. Dahulu aturan ini sangat menyiksaku karena harus selalu duduk di shaf terdepan, harus selalu mendengarkan khatib ceramah, tidak bisa bergabung bersama teman-teman di shaf paling belakang dan ikut berlomba dengan mereka agar menjadi pemenang siapa yang paling awal keluar masjid. Arrghh, aturan ayah sangat tidak tidak menyenangkan dan mengekang. Tidak seperti anak-anak sekarang yang memberontak jika dikekang orangtua mereka, rasa hormatku pada ayah yang teramat dalam membuatku menuruti segala aturan ayah. Walaupun itu berarti menyiksaku.

Kami bertiga, terutama aku tidak selalu patuh pada aturan ayah. Beberapa kali kami, terutama aku menolak aturan yang ditetapkan ayah. Jangan pikirkan penolakan yang aku lakukan seperti yang disuguhkan di FTV-FTV berjudul sinting seperti “Anakku Pembunuh Berantai” atau sinetron yang sedang booming yaitu “Gurih Gurih Srikaya”. Kami terutama aku tidak pernah meninggikan suara jika aturan ayah kurasa berlebihan. Hal yang selalu aku lakukan adalah menangis dan berdiam diri di kamar. Biasanya setelah satu atau dua jam menangis aku sudah tenang dan siap berhadapan dengan ayah kembali.

Sebenarnya masih banyak aturan ayah yang ayah terapkan dalam mendidik kami. Namun kali ini aku hanya akan membongkar sedikit saja. Jika suatu saat nanti aku punya kesempatan, aku akan ceritakan yang lebih banyak lagi.

Sebelum aku tutup, aku ingat suatu kali ayah pernah mengungkapkan kekecawaannya akibat kenakalan kami dengan sebuah kalimat. Kalimat yang ayah ucapkan ini mengena betul di sanubariku. Ayah berkata dengan penuh kecewa “mancaliak anak urang titiak liua, mancaliak anak awak titiak ingua”, bahwa saat ayah melihat anak orang lain, ayah melihat masa depan yang cerah namun saat ayah memalingkan muka ke anak sendiri ayah tak menemukan apa-apa selain penyesalan yang mungkin akan kami rasakan dimasa depan. Saat mendengar ayah berkata demikian, batinku menjerit. Hatiku berucap, aku akan buktikan ayah salah, aku akan jadi “orang”, begitu gumamku saat itu. 15 tahun berlalu sudah. Hari ini Senin 9 September 2014, aku menemukan namaku muncul diantara ratusan nama lain dalam pengumuman kelulusan di Kementerian Keuangan. Tertera jelas disana namaku. Aku diterima di Direktorat Jenderal Pajak. Maha Suci Allah, Sungguh Allah Dzat yang Maha Pemurah, Alhamdulillah, berkat Rahmat Allah Ta’ala aku secara resmi telah menjadi Pegawai Negeri Sipil. Aku berhasil membuktikan kepada ayah bahwa kecemasan ayah telah salah. Aku berhasil mengikuti jejak ayah menjadi seorang PNS. Sekarang ditanganku ada kunci menuju hal-hal besar berikutnya yang siap aku jalani selanjutnya.

I wish you still remember your words Dad. Do I make you Proud dad? I do make you proud, don’t I?

Kututup cerita ini.

Ciputat
Rabu, 15 Dzulqaidah 1435 H

PS: Aku Punya Cerita http://nightadmirer.blogspot.com/2010/04/aku-punya-cerita.html

Friday 10 May 2013

Nasi Kotak Milik Ibu


Hari ini kampusku – sebuah kampus diploma keuangan di bilangan Tangerang Selatan – mengadakan seminar mengenai perpajakan. Seminar kali ini membahas serba-serbi anggapan masyarakat mengenai pajak. Acara berlangsung sehari penuh sehingga aku dan peserta lainnya dibekali makan siang oleh panitia. Saat acara selesai, setiap yang hadir diserahkan masing-masing sebuah kotak berisi makan siang. Aku pulang dengan wajah sumringah. Walaupun belum akan menikmati nasi beserta lauk yang telah dibungkus rapi ini hingga magrib, setidaknya aku tau bahwa buka puasaku hari ini akan nikmat.

Magrib menjelang, selesai menunaikan kewajiban shalat mataku langsung tertuju pada kotak karton yang kuterima siang tadi. Sebuah kotak karton yang tidak terlalu besar yang penutupnya tercetak nama restoran prasmanan asal tanah sunda. Aku buka kotak tersebut perlahan. Aroma semerbak tak lagi mengepul keluar. Barangkali karena sudah terlalu lama dibiarkan dan telah dingin sehingga apapun yang ada didalamnya tidak lagi beraroma.

Kuciumi bau lauk beserta nasinya yang berada dalamnya. Yakin belum basi, aku mulai melahap satu-persatu isi nasi kotak itu. Nasi putih, ayam bakar, tahu goreng, singkong rebus, dan timun. Sesuap demi sesuap ku lahap semua makanan yang ada di dalam kotak karton itu hingga tak tersisa sedikitpun. Aku kombinasikan pula lauk-lauknya di setiap suapan agar kutemukan citarasa luar biasa di lidah. Aku benar-benar kelaparan hari ini. Aku belum makan apapun seharian.

Nasi kotak memang selalu menggoda seleraku. Ini tak lepas dari kejadian di masa kecilku yang selalu kuingat hingga hari ini. Saat ibu pulang dengan nasi kotak di tangannya. Ibuku adalah seorang guru di Sekolah Dasar Negeri di desa Gantiang, sebuah desa yang berjarak tempuh satu jam dari rumah. Karena jarak yang cukup jauh serta moda transportasi yang  sulit di desa, ibu selalu berangkat pagi-pagi sekali. Biasanya saat aku telah berseragam putih merah lengkap, ibu telah meninggalkan rumah.

Seringkali ibu belum berangkat ketika aku pergi ke sekolah. Jika hari itu tiba, aku segera tahu bahwa ibu akan menghadiri pelatihan atau lokakarya di kecamatan. Jarak kecamatan tidak jauh dari rumah sehingga ibu tidak perlu repot berangkat terlalu dini. Hari itupun menjadi hari yang membahagiakan bagiku. Karena setiap kali mengikuti kegiatan tersebut, ibu akan pulang membawa buah tangan yaitu bermacam-macam makanan ringan yang ibu dapatkan disana.  Saat itu, saat ekonomi keluargaku masih sulit, makanan semacam itu adalah barang langka yang tidak kudapatkan setiap hari. Sepertinya ibu sangat tahu akan hal itu. Itulah kenapa sepulang dari pelatihan ataupun lokakarya, ibu tak alpa menyimpan snacknya dan membawanya pulang untuk kami, untukku serta untuk adik dan abangku.

Jika ibu pulang dari seminar lebih sore, biasanya ibu membawa nasi kotak, ya, sebuah nasi kotak. Nasi kotak inilah yang selalu kami tunggu-tunggu. Bertiga, kami saling berbagi. Tidak banyak memang yang kami dapatkan setelah dibagi tiga, tetapi entah kenapa nasi kotak yang ibu bawa selalu cukup dan yang paling penting selalu nikmat. Entah karena pengusaha kateringnya memang ahli memasak ataukah karena pengorbanan ibu menahan lapar agar anak-anaknya dapat menikmati nasi kotak yang penuh gizi ini yang membuat rasanya menjadi lebih lezat. Aku tak tahu, aku tidak peduli saat itu.

Sepuluh tahun berlalu sudah. Malam ini aku menikmati nasi kotakku sendiri. Rasa lapar yang sangat sebelumnya telah berganti dengan rasa kenyang. Sejenak aku berpikir dan kemudian aku tersadar. Aku tersadar bahwa apa yang ibu lakukan dulu adalah bentuk pengorbanannya, wujud rasa cintanya pada kami. Bahwa rasa lapar yang kurasakan sejak tadi, itu pulalah yang ibu rasakan saat ibu memutuskan menyimpan nasi kotaknya demi anak-anaknya. “Wahai ibu, tak pernahkah kau dahulukan dirimu barang sekalipun”, lirihku. Bulir-bulir airmataku mulai menetes. Sepuluh tahun, butuh waktu sepuluh tahun bagiku untuk menyadari  besarnya pengorbanan dan cinta ibu dalam nasi kotak kecil itu.

Sekarang aku disini, di semester terakhir sekolah kedinasan ini. Di depanku tempampang masa depan yang menjanjikan. Lagi, jika tanpa doa ibu semua ini mimpi belaka. Semoga apa yang telah kuraih saat ini kalaupun tidak akan mengembalikan tenaga ibu yang terbuang akibat membesarkanku, atau mengembalikan rambut hitam ibu yang semakin hari makin memutih karena memikirkan tingkahku, atau mengembalikan tangan halus ibu yang telah kasar karena bekerja siang dan malam, setidaknya aku harap semua ini bisa menjadi pengelap keringat ibu, walau hanya setetes.

Ya Rabb, masukkan ibu ke dalam surga-Nya, tempat orang-orang mulia seperti ibu diberi karma. Pinta disetiap akhir sujudku. Kuakhiri kisah ini.


Jurangmangu, 13 Jumadil Akhir
Dibawah naungan purnama, di dalan kamar tempatku menyusun hari tua.

Friday 15 March 2013

Diatas Sajadah Cinta


KOTA KUFAH terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk. Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota Kufah masih terasa.
Di serambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegap menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teguh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang-orang memanggilnya “Zahid” atau “Si Ahli Zuhud”, karena kezuhudannya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan paling mencintai masjid di kota Kufah pada masanya. Sebagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota Kufah. Saat itu masjid adalah pusat peradaban, pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat perhatian.
Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada ayat-ayat azab, tubuh pemuda itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyala-nyala dihadapannya. Namun jika ia sampai pada ayat-ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari langit terasa bagai mengguyur sekujur tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai mencium aroma wangi para bidadari yang suci.
Tatkala sampai pada surat Asy Syams, ia menangis,
fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha.
qad aflaha man zakkaaha.
wa qad khaaba man dassaaha
…”
(maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaan,
sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya
…)
Hatinya bertanya-tanya. Apakah dia termasuk golongan yang mensucikan jiwanya. Ataukah golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk golongan yang beruntung, ataukah yang merugi?
Ayat itu ia ulang berkali-kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya berguncang. Akhirnya ia pingsan.

***

Sementara itu, di pinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu-lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun kurma yang luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya.
Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari-nari riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera yang menerangi ruangan itu. Kecantikannya sungguh memesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair-syair cinta,
in kuntu ‘asyiqatul lail fa ka’si
musyriqun bi dhau’
wal hubb al wariq
…”
(jika aku pencinta malam maka
gelasku memancarkan cahaya
dan cinta yang mekar
…)

***

Gadis itu terus menari-nari dengan riangnya. Hatinya berbunga-bunga. Di ruangan tengah, kedua orangtuanya menyungging senyum mendengar syair yang didendangkan putrinya. Sang ibu berkata, “Abu Afirah, putri kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik-baik syair-syair yang ia dendangkan.”
“Ya, itu syair-syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan tadi siang di pasar aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah untuk putranya, Yasir.”
“Bagaimana, kau terima atau…?”
“Ya jelas langsung aku terima. Dia ‘kan masih kerabat sendiri dan kita banyak berhutang budi padanya. Dialah yang dulu menolong kita waktu kesusahan. Di samping itu Yasir itu gagah dan tampan.”
“Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu?”
“Tak perlu! Kita tidak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir. Pemuda yang paling cocok untuk Afirah adalah Yasir.”
“Tapi, engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.”
“Ah, itu gampang. Nanti jika sudah beristri Afirah, dia pasti juga akan tobat! Yang penting dia kaya raya.”

***

Pada saat yang sama, di sebuah tenda mewah, tak jauh dari pasar Kufah. Seorang pemuda tampan dikelilingi oleh teman-temannya. Tak jauh darinya seorang penari melenggak lenggokan tubuhnya diiringi suara gendang dan seruling.
“Ayo bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!” bisik temannya.
“Be…benarkah?”
“Benar. Ayo cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia-siakan kesempatan ini, Yasir!”
“Baiklah. Bersenang-senang dengannya memang impianku.”
Yasir lalu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang penari mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu menari-nari diiringi irama seruling dan gendang. Keduanya benar-benar hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu ketelinga Yasir,
“Apakah Anda punya waktu malam ini bersamaku?”
Yasir tersenyum dan menganggukan kepalanya. Keduanya terus menari dan menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengking-lengking. Aroma arak menyengat nurani. Hati dan pikiran jadi mati.

***
Keesokan harinya.
Usai shalat dhuha, Zahid meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota. Ia hendak menjenguk saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayat-ayat suci Al-Quran. Ia sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan apel buat saudaranya yang sakit.
Zahid berjalan melewati kebun kurma yang luas. Saudaranya pernah bercerita bahwa kebun itu milik saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki jalan yang membelah kebun kurma itu. Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalandan titik hitam itu semakin membesar dan mendekat. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu menjadi seorang sedang menunggang kuda. Lalu sayup-sayup telinganya menangkap suara,
“Toloong! Toloong!!”
Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya. Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas.
“Toloong! Toloong!!”
Suara itu semakin jelas terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya dengan jelas bisa menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang.
“Toloong! Toloong hentikan kudaku ini! Ia tidak bisa dikendalikan!”
Mendengar itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu semakin dekat dan tinggal beberapa belas meter di depannya. Cepat-cepat ia menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat tangan kanannya dan berkata keras,
“Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!”
Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan berhenti seketika. Perempuan yang ada dipunggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Zahid mendekati perempuan itu dan menyapanya,
Assalamu’alaiki. Kau tidak apa-apa?”
Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan,
Alhamdulillah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkilir saat jatuh.”
“Syukurlah kalau begitu.”
Dua mata bening di balik cadar itu terus memandangi wajah tampan Zahid. Menyadari hal itu Zahid menundukkan pandangannya ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan memesona,
“Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari mana dan mau ke mana Tuan?”
Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih memesona. Hatinya bergetar hebat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya ia menatap wajah gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona, Zahid tersadar, ia cepat-cepat menundukkan kepalanya. “Innalillah. Astagfirullah,” gemuruh hatinya.
“Namaku Zahid, aku dari masjid mau mengunjungi saudaraku yang sakit.”
“Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya cuma di dalam masjid?”
“Tak tahulah. Itu mungkin Zahid yang lain.” kata Zahid sambil membalikkan badan. Ia lalu melangkah.
“Tunggu dulu Tuan Zahid! Kenapa tergesa-gesa? Kau mau kemana? Perbincangan kita belum selesai!”
“Aku mau melanjutkan perjalananku!”
Tiba-tiba gadis itu berlari dan berdiri di hadapan Zahid. Terang saja Zahid gelagapan. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depannya. Seumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.
“Tuan aku hanya mau bilang, namaku Afirah. Kebun ini milik ayahku. Dan rumahku ada di sebelah selatan kebun ini. Jika kau mau silakan datang ke rumahku. Ayah pasti akan senang dengan kehadiranmu. Dan sebagai ucapan terima kasih aku mau menghadiahkan ini.”
Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau muda.
“Tidak usah.”
“Terimalah, tidak apa-apa! Kalau tidak Tuan terima, aku tidak akan memberi jalan!”
Terpaksa Zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil menutup kembali mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua kakinya melanjutkan perjalanan.

***

Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah kembali diterangi sinar rembulan. Angin sejuk dari utara semilir mengalir.
Afirah terpekur di kamarnya. Matanya berkaca-kaca. Hatinya basah. Pikirannya bingung. Apa yang menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di kebun kurma hatinya terasa gundah. Wajah bersih Zahid bagai tak hilang dari pelupuk matanya. Pandangan matanya yang teduh menunduk membuat hatinya sedemikian terpikat. Pembicaraan orang-orang tentang kesalehan seorang pemuda di tengah kota bernama Zahid semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap wajahnya dan mendengarkan tutur suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya. Tiba-tiba air matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata,
“Inikah cinta? Beginikah rasanya? Terasa hangat mengaliri syaraf. Juga terasa sejuk di dalam hati. Ya Rabbi, tak aku pungkiri aku jatuh hati pada hamba-Mu yang bernama Zahid. Dan inilah untuk pertama kalinya aku terpesona pada seorang pemuda. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya Rabbi, izinkanlah aku mencintainya.”
Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang ia berikan pada Zahid. Tiba-tiba ia tersenyum,
“Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari ia akan datang kemari.”
Hatinya berbunga-bunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata teduh itu hadir di pelupuk matanya.

***
Sementara itu di dalam masjid Kufah tampak Zahid yang sedang menangis di sebelah kanan mimbar. Ia menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya dalam shalat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak ia bertemu dengan Afirah di kebun kurma tadi pagi ia tidak bisa mengendalikan gelora hatinya. Aura kecantikan Afirah bercokol dan mengakar sedemikian kuat dalam relung-relung hatinya. Aura itu selalu melintas dalam shalat, baca Al-Quran dan dalam apa saja yang ia kerjakan. Ia telah mencoba berulang kali menepis jauh-jauh aura pesona Afirah dengan melakukan shalat sekhusyu’-khusyu’-nya namun usaha itu sia-sia.
“Ilahi, kasihanilah hamba-Mu yang lemah ini. Engkau Mahatahu atas apa yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cinta-Mu. Namun Engkau juga tahu, hatiku ini tak mampu mengusir pesona kecantikan seorang makhluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan suaranya Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk meletakkan embun-embun cinta yang menetes-netes dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada garis takdir yang paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup matiku untuk-Mu.” Isak Zahid mengharu biru pada Tuhan Sang Pencipta hati, cinta, dan segala keindahan semesta.
Zahid terus meratap dan mengiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta terus ia paksa untuk menepis noda-noda nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embun-embun cinta itu semakin deras mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan azab-Nya. Rasa cinta dan rindu-Nya pada Afirah. Dan rasa tidak ingin kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat dalam relung hatinya. Dalam puncak munajatnya ia pingsan.
Menjelang subuh, ia terbangun. Ia tersentak kaget. Ia belom shalat tahajjud. Beberapa orang tampak tengah asyik beribadah bercengkerama dengan Tuhannya. Ia menangis, ia menyesal. Biasanya ia sudah membaca dua juz dalam shalatnya.
“Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di surga dengan bidadari dunia. Ilahi, hamba lemah maka berilah kekuatan!”
Ia lalu bangkit, wudhu, dan shalat tahajjud. Di dalam sujudnya ia berdoa,
“Ilahi, hamba mohon ridha-Mu dan surga. Amin. Ilahi lindungi hamba dari murkamu dan neraka. Amin. Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa cinta hamba pada Afirah pada-Mu, hamba terlalu lemah untuk menanggung-Nya. Amin. Ilahi, hamba memohon ampunan-Mu, rahmat-Mu, cinta-Mu, dan ridha-Mu. Amin.”

***

Pagi hari, usai shalat dhuha Zahid berjalan ke arah pinggir kota. Tujuannya jelas yaitu melamar Afirah. Hatinya mantap untuk melamarnya. Di sana ia disambut dengan baik oleh kedua orangtua Afirah. Mereka sangat senang dengan kunjungan Zahid yang sudah terkenal ketakwaannya di seantero penjuru kota. Afiah keluar sekejab untuk membawa minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia mendengarkan dengan seksama pembicaraan Zahid dengan ayahnya. Zahid mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu melamar Afirah.
Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah menanti dengan seksama jawaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Zahid menundukkan kepala ia pasrah dengan jawaban yang akan diterimanya. Lalu terdengarlah jawaban ayah Afirah,
“Anakku Zahid, kau datang terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar Abu Yasir untuk putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.”
Zahid hanya mampu menganggukan kepala. Ia sudah mengerti dengan baik apa yang didengarnya. Ia tidak bisa menyembunyikan irisan kepedihan hatinya. Ia mohon diri dengan mata berkaca-kaca. Sementara Afirah, lebih tragis keadaannya. Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.

***

Zahid kembali ke masjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketakwaan Zahid ternyata tidak mampu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia dengar dari ayah Afirah membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas. Berkali-kali ia pingsan. Ketika keadaannya kritis seorang jamaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia sering mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istigfhar dan … Afirah.
Kabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar ke seantero kota Kufah. Angin pun meniupkan kabar ini ke telinga Afirah. Rasa cinta Afirah yang tak kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek,



Kepada Zahid,

Assalamu’alaikum

Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Rasa cinta itulah yang membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku dalam mimpi dan sadarmu. Tak bisa kuingkari, aku pun mengalami hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku selama-lamanya.
Zahid,
Kalau kau mau. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa haus kita berdua. Pertama, aku akan datang ke tempatmu dan kita bisa memadu cinta. Atau kau datanglah ke kamarku, akan aku tunjukkan jalan dan waktunya.

Wassalam
Afirah

===============================================================

Surat itu ia titipkan pada seorang pembantu setianya yang bisa dipercaya. Ia berpesan agar surat itu langsung sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada orang ketiga yang membacanya. Dan meminta jawaban Zahid saat itu juga.
Hari itu juga surat Afirah sampai ke tangan Zahid. Dengan hati berbunga-bunga Zahid menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristighfar sebanyak-banyaknya. Dengan berlinang air mata ia menulis untuk Afirah :



Kepada Afirah,

Salamullahi’alaiki,

Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah semata-mata karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku menginginkan sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah ‘Azza Wa Jalla’. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang sama. Bukan sebuah cinta yang menyeret kepada kenistaan dosa dan murka-Nya.
Afirah,
Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati kehausan jiwa ini dengan secangkir air cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka. Afirah, “Inni akhaafu in ‘ashaitu Rabbi adzaaba yaumin ‘adhim!” ( Sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar jika aku durhaka pada Rabb-ku. Az Zumar : 13 )
Afirah,
Jika kita terus bertakwa. Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang bisa aku lakukan saat ini kecuali menangis pada-Nya. Tidak mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya :
“Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (yaitu surga).”
Karena aku ingin mendapatkan seorang bidadari yang suci dan baik maka aku akan berusaha kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allahlah yang menentukan.
Afirah,
Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.

Wassalam,
Zahid

===============================================================

Begitu membaca jawaban Zahid itu Afirah menangis. Ia menangis bukan karena kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang sangat berharga, yaitu hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda saleh bernama Zahid itu telah mengubah jalan hidupnya.
Sejak itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamor. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Sorban putih pemberian Zahid ia jadikan sajadah, tempat dimana ia bersujud, dan menangis di tengah malam memohon ampunan dan rahmat Allah SWT. Siang ia puasa malam ia habiskan dengan bermunajat pada Tuhannya. Di atas sajadah putih ia menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, yaitu cinta kepada Allah SWT. Hal yang sama juga dilakukan Zahid di masjid Kufah. Keduanya benar-benar larut dalam samudera cinta kepada Allah SWT.
Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulan kemudian Zahid menerima sepucuk surat dari Afirah :



Kepada Zahid,

Assalamu’alaikum,

Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar hamba-Nya yang bertakwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasululullah SAW. Secepatnya.

Wassalam,
Afirah



===============================================================
Seketika itu Zahid sujud syukur di mihrab masjid Kufah. Bunga-bunga cinta bermekaran dalam hatinya. Tiada henti bibirnya mengucapkan hamdalah.





Diambil dari buku dengan judul yang sama karya Habiburrahman El Shirazy.

Thursday 14 March 2013

27 Dampak Zina di Dunia

Bukan main banyaknya dampak zina. Bukan saja berdampak di dunia, namun juga di akhirat nantinya pada seseorang yang melakukannya dan belum bertaubat.

Bukan saja fisik, namun bisa berdampak ke psikologi orang yang melakukannya.
  1. Bisa Mengurangi agama dan kadar keimanan seseorang.
  2. Menghilangkan sifat wara’.
  3. Merusak kehormatan dan harga diri.
  4. Mengurangi sifat cemburu.
  5. Mendapatkan murka Allah.
  6. Menghitamkan raut wajah hingga menjadikannya nampak gelap.
  7. Menggelapkan hati dan menghilangkan cahayanya.
  8. Mengakibatkan kefakiran yang terus menerus.
  9. Menghilangkan kesucian pelakunya dan menjatuh nilainya dihadapan Allah SWT dan manusia.
  10. Mencopot sifat dan julukan terpuji seperti ‘iffah, baik, adil, amanah dari pelakunya serta menyematkan sifat cela seperti fajir, pengkhianat, fasik dan pezina.
  11. Menceburkan diri sendiri pada adzab di sebuah tungku api neraka.
  12. Menghilangkan nama baik.
  13. Allah SWT memberikan kegelisahan hati buat para pezina.
  14. Menghilangkan kewibawaan. Wibawanya akan di cabut dari hati keluarga, teman-temannya dan yang lain.
  15. Manusia memandangnya sebagai pengkhianat, dan tak ada seorangpun yg bisa mempercayainya.
  16. Allah SWT memberi rasa sumpek dan susah di hati pezina.
  17. Menghilangkan kesempatan untuk mendapatkan kenikmatan bersama bidadari di surga.
  18. Perbuatan zina mendorong pelakunya berani durhaka pada orang tua, memutus kekerabatan, bisnis haram, menzhalimi orang lain dan menelantarkan keluarga.
  19. Dikelilingi perbuatan maksiat lain.
  20. Terkena sanksi dunia menurut hukum syariat.
  21. Merusak nasab (garis keturunan).
  22. Menghancurkan kehormatan dan harga diri.
  23. Menyebabkan tersebarnya penyakit berbahaya.
  24. Membuka peluang keluarganya untuk terjerumus dalam perbuatan serupa.
  25. Menyebabkan hilangnya amalan shalih sehingga ia bangkrut pada hari kiamat.
  26. Dihadapkan pada orang yang istrinya dizinai utk diambil pahala kebaikannya sesukanya sehingga tidak tersisa kebaikan sedikitpun.
  27. Anggota tubuh seperti tangan, kaki, kulit, telinga, mata dan lisan akan memberi persaksian yeng menyakitkan.

Saturday 2 March 2013

Pesan untuk Ayah dan Bunda


Anakmu suka berdusta ; anda terlalu ketat mengevaluasi perbuatannya.

Anakmu tidak punya rasa percaya diri ; anda tidak memberikan dorongan kepadanya.

Anakmu lemah dalam bicara ; anda jarang mengajaknya berdialog.

Anakmu mencuri ; anda tidak membiasakannya untuk memberi dan berkorban.

Anakmu pengecut ; anda terlalu memberikan pembelaan kepadanya.

Anakmu tidak menghormati orang lain ; anda tidak bicara dengan kelembutan kepadanya.

Anakmu selalu marah-marah ; anda tidak memberikan pujian kepadanya.

Anakmu pelit ; anda tidak menyertakannya dalam berbuat.

Anakmu suka jahat kepada orang lain ; anda kasar kepadanya.

Anakmu lemah ; anda menggunakan ancaman dalam mendidiknya.

Anakmu cemburu ; anda mencuekkannya.

Anakmu mengganggumu ; anda tidak mencium atau mendekapnya.

Anakmu tidak mau patuh kepadamu ; anda terlalu banyak permintaan.

Anakmu cemberut ; anda sibuk terus.

Anakmu adalah amanah yang harus dirawat dan dididik dengan baik.

(DR. Thariq al Habib)