Monday 24 May 2010

Kenang

Saat aku membuka pintu rumah, abangku telah ada di ruang tamu, ia termenung di pojok, entah apa yang dipikirkannya. Seketika aku ingin menghiburnya, tapi leherku seperti tertekan, suara enggan keluar dari mulutku. Aku duduk di samping kirinya, bisa ku lihat dari ujung matanya, bening dan basah seperti sedang menahan sesuatu yang ingin sekali menerobos. Ia hanya diam, menatap kaki meja, sedang ibuku sibuk membereskan barang-barang abang yang masih tersisa di depan tv.

Aku memberanikan diri memulai, "Bang, nanti kalau abang sampai di sana pasti abang punya banyak teman, jangan lupa sering telpon ke rumah ya?" dengan nada yang kupaksakan ceria, abangku hanya menoleh sebentar ke arahku, lalu wajahnya berpaling lagi.

Hampir lima belas menit kami saling diam, selama itu pula aku dan dia menahan air mata agar tidak jatuh. Aku sebenarnya ingin menangis lagi, tapi aku malu, aku malah berharap ia menangis duluan biar aku punya alasan menangis jika ibuku nanti bertanya kenapa aku menangis. Tapi ia tetap diam, atau mungkin waktu aku masih di sekolah tadi dia sudah capek menangis.

Teriakan adikku membuyarkan khayal sedih kami, aku yakin apa yang baru saja abangku pikirkan tadi sama seperti yang aku pikirkan, aku telah berusaha menyapa dan menguatkan hatinya saat aku menemuinya dalam dunia pikir kami tadi,tapi tak bisa.

Ibu menyuruh abang makan sebelum berangkat, mau tidak mau aku juga ikut makan karena kurang bijak bila aku membiarkannya makan sendirian sementara keadaannya menyedihkan seperti itu.

Ia menyendokkan nasi dengan sangat hati-hati, pelan sekali, sepertinya jika ada satu saja ia menjatuhkan butir nasi Allah akan langsung mengazabnya. Tapi ia tidak bisa menyembunyikan rahasianya dariku, tangannya bergetar hebat saat sendokan pertama, ia hanya mengambil sedikit nasi, tidak seperti sendokan-sendokannya kemarin.Ia tidak langsung makan saat sendokannya selesai, nampak sekali kalau ia ingin menunggu sendokanku selesai dan makan bersamaku, lalu hal yang tidak kuduga pun terjadi, saat kami sama-sama akan memulai suapan pertama kami, aku melihat sekilas, ada air yang menetes di suapan nasinya.

Padahal aku sudah berusaha buta, pura-pura tidak melihat, tapi air mataku memang kurang ajar, aku ikut menangis, ibuku yang sedang berberes-beres di kamar depan nampaknya tidak berminat mendiamkan kami, ia tetap di sana. (belakangan ku ketahui, alasan ibuku tidak pernah datang untuk mendiamkan kami di saat-saat terakhir itu adalah karena beliau juga ikut menangis.)

Ia bertanya, "Kenapa menangis?" ku jawab "Karena abang menangis" lalu sambil terisak aku bertanya, "Abang kenapa menangis? Bukannya sekolah ke jawa itu enak? Dekat dengan Surabaya, abang bisa jalan-jalan ke sana kalau ayah mengunjungi abang?" pelan ia menjawab "Sebentar lagi abang pergi, abang tidak siap, abang tidak pernah berpikir akan meninggalkan rumah secepat ini, abang masih kecil, masih dua belas tahun, lalu abang kepikiran Abi –panggilanku di rumah— kalau abang pergi, Abi main sama siapa? Siapa yang temani Abi tidur? Abang sedih kalau mengingat Abi ketakutan saat tidur sendirian nanti.."

Degg, aku kaget mendengar jawabannya, jadi yang membuat ia sedih belakangan ini adalah karena ia mengkhawatirkan aku. Tidak bisa kutahan lagi isak ini, aku menangis sepuasku dengan suara yang lepas, aku ingin puas-puas menangis di depan abangku ini.

Aku juga dulu memikirkan hal yang sama dengannya, kenapa ayahku tega mengirim abang ke jawa, padahal abang masih kecil, kalau dibandingkan dengan teman-temannya yang sebaya, ia termasuk deretan anak-anak yang pendek.

Saat aku mengajukan protes itu pada ibu saat beliau sedang di dapur, beliau menjawab "Iya, mama tau, mama juga sudah memikirkan hal itu, tapi khan Abi tau sendiri, abang itu sekolahnya di SD Katolik, dari kelas satu dulu dia sudah di sana –karena memang saat itu belum ada Madrasah Ibtidaiyah di kota kami-- nah pertimbangan mama dan ayah, kalau abang tetap melanjutkan sekolahnya di sini takutnya nanti abang tidak mengerti agama sama sekali walaupun mama sebenarnya bisa mengajar, tapi tentunya mama tidak bisa mengajar sebanyak apa yang akan abang terima di jawa nanti, abang khan di jawa akan masuk pondok pesantren."

Kalau ku pikir-pikir, apa yang di katakan ibuku benar juga, aku tahu kalau pengetahuan abang tentang agama sangat minim, yang ia tahu mungkin hanya bacaan-bacaan sholat, baca Al Quran, doa tidur, makan, dan doa-doa simpel lainnya. Untuk hal-hal lain, aku bisa pastikan ia tidak tahu, walaupun di sekolah ia selalu juara, juaranya hanya untuk pendidikan sekolah Katoliknya saja, bukan pendidikan agama Islam, apalagi di sekolahnya tidak diajarkan pelajaran agama Islam.

Aku ingat beberapa minggu yang lalu, saat abangku pulang ujian Ebtanas, ia langsung menghampiriku yang sedang asik dengan game, ia bertanya dengan malu-malu, "Bi, yang benar itu Nabi lahirnya di kota Mekkah atau Madinah? Terus pelajaran membaca Al Quran itu apa sih namanya?"
Aku hampir tertawa dibuatnya, masa itu saja ia tidak tahu, padahal ibu guruku di Madrasah telah mengajarkan hal itu sejak kami kelas satu dulu. Tidak menjawab, aku malah balik bertanya "Emang kenapa bang? Abang tadi ujian agama ya?" sambil mendesah ia menangguk, "Abang menyesal, harusnya waktu pak Yohanes menyuruh bertanya pilih ikut ujian agama Katolik atau Islam? harusnya abang memilih agama Katolik saja, karena abang lebih tau tentang masalah itu." Sambil tersenyum aku berkata "Tidak apa bang, harusnya abang bangga karena abang menentukan pilihan yang tepat, walaupun pengetahuan abang tentang Islam masih sedikit tapi abang membuat keputusan yang berani, abang memilih agama yang benar." masih menahan tawa, aku kembali bertanya "Tapi ngmong-ngmong tadi abang jawab apa?"

Dengan malu-malu abangku bercerita " Hehehe, abang jawab sebisa abang saja, pertanyaan di kota apa Nabi lahir abang jawab saja di Arab, walaupun itu bukan kota tapi lebih aman daripada abang jawab kota tapi salah, terus ilmu yang mengkaji cara-cara membaca Al Quran abang jawab pengajian, karena memang abang tidak tahu apa namanya, semoga di benerin sama pak yang mengoreksi."

Hahahahaha, kali ini tidak bisa menahan tawaku lagi, abang..abang walaupun kau hebat di sekolahmu, tapi kelemahanmu menganga, pertanyaan mudah seperti itu saja kau tidak tahu..
Bersambung..

Friday 21 May 2010

Belajar dari Salman

Salman Al-Farisi pernah menangis saat sakit di akhir usianya. Sa'ad yang saat itu menjenguk bertanya, "Apa yang membuatmu menangis, wahai saudaraku? Bukankah engkau pernah menemani Rasulullah? Bukankah engkau begini dan begitu?"

Salman menjawab, "Tidaklah aku menangis karena salah satu dari dua hal. Aku tidak menangis karena sakit. Dan tidak pula karena membenci akhirat. Tetapi Rasulullah pernah mengamanatkan sebuah amanat kepadaku hingga tidaklah aku melihat kecuali aku tidak melakukannya."

"Apakah yang beliau amanatkan kepadamu?" tanya Sa'ad dengan heran. Bagaimana mungkin Salman Al-Farisi yang demikian zuhud dan luar biasa tidak mampu menjalankan amanat itu. "Beliau mengamanatkan bahwa hendaklah seorang diantara kalian (menjadi) seperti perbekalan orang yang hendak pergi. Tidaklah diperlihatkan kepadaku kecuali aku telah melampaui batas" jawab Salman.

Itulah Salman. Sahabat yang berprestasi saat menjadi jundi dan pemberi qudwah saat menjadi qiyadah. Ia telah memimpin dengan cinta. Ia telah menyerahkan seluruh gajinya ke baitul mal. Ia tidak pernah memegang uang lebih dari 3 dirham setiap harinya. Hanya 1 dirham untuk makan, 1 dirham disedekahkan, dan 1 dirham untuk modal esok. Adakah yang lebih sederhana dari itu? Namun Salman tetap risau. Ia khawatir bahwa ia telah berlebih-lebihan.

Sikap ini tidak hanya dimiliki oleh Salman. Generasi sahabat adalah generasi zuhud dan wara' serupa itu. Tidak peduli apakah mereka tergolong miskin seperti para ahlu suffah ataukah kaya seperti Usman. Seperti Salman, Usman juga menangis di akhir hayatnya. "Ada sahabat Rasulullah SAW yang jauh lebih baik dariku, yaitu Mus’ab bin Umair, yang ketika wafat tidak meninggalkan harta sedikitpun juga. Ia bahkan tidak punya cukup kain kafan untuk menutupi jasadnya, hingga jika kepalanya ditutup maka kakinya terbuka, jika kakinya ditutup maka kepalanya terbuka. Lalu apa artinya bahwa mendapatkan kekayaan yang melimpah ruah ini sementara mereka tidak?? Tidakkah kekayaan ini malah akan mengantarkan aku ke neraka??" demikian kata-kata dalam isaknya.

Kehidupan kita hari ini jauh lebih mewah daripada jalan yang dipilih Salman. Kalaupun tidak sekaya Usman, kita pun lebih menikmati dunia darinya. Dan pastinya kita belum berinfaq sebanyak Usman atau sehebat Salman.

Lalu mengapa belum ada kerisauan seperti yang dirasakan Salman? Bukankah kita lebih dekat dengan sikap berlebih-lebihan? Bukankah kita jauh lebih mengabaikan amanat Rasulullah itu? Rupanya bukan hanya sikap zuhud dan wara' yang tidak bisa kita miliki, bahkan kita cenderung tidak tahu diri. Merasa aman-aman saja, dan tidak ada masalah. Inilah masalah terbesarnya.

Tanpa kesadaran itu kita akan lebih mudah tertipu. Lebih jauh terperosok dalam jurang dosa, lebih jauh terperangkap dalam belantara maksiat. Hingga sakaratul maut membelalakkan mata kita. Hingga alam barzakh menyentakkan jiwa kita. Saat dua malaikat telah hadir dengan segala pertanyannya...

Salman mengajarkan kepada kita, sebagaimana ia mengajarkannya kepada Sa'ad. Lanjutan dari dialog yang diriwayatkan Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani tersebut menunjukkan bagaimana nasehat Salman: "Adapun kamu wahai Sa'ad, takutlah kamu kepada Allah terhadap keputusanmu ketika kamu memutuskan, atau pembagianmu ketika kamu membagikan, dan dalam keinginanmu ketika kamu menginginkan."

Di akhir hadits itu disebutkan bagaimana sikap Sa'ad selanjutnya. Ketika ia meninggal, ia hanya memiliki kekayaan 20 dirham.

Kita? Maukah mengambil pelajaran darinya?

Sumber: muchlisin.blogspot.com

Wednesday 14 April 2010

Read

Seperti biasa Arya, Karyawan di sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Rana, putri pertamanya yang baru duduk di kelas tiga SD membukakan pintu untuknya.Nampaknya ia sudah menunggu cukup lama. "Kok, belum tidur ?" sapa Arya sambil mencium anaknya.

Biasanya Rana memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari.Sambil membuntuti sang Papa menuju ruang keluarga, Rana menjawab, "Aku nunggu Papa pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Papa ?" "Lho tumben, kok nanya gaji Papa ? Mau minta uang lagi, ya ?"

"Ah, enggak. Pengen tahu aja" ucap Rana singkat."Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Papa bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp. 400.000,-. Setiap bulan rata-rata dihitung 22 hari kerja.Sabtu dan Minggu libur, kadang Sabtu Papa masih lembur. Jadi, gaji Papa dalam satu bulan berapa, hayo ?"

Rana berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar sementara Papanya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Arya beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Rana berlari mengikutinya. "Kalo satu hari Papa dibayar Rp. 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam Papa digaji Rp.40.000,- dong" katanya.

"Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, tidur" perintah Arya

Tetapi Rana tidak beranjak. Sambil menyaksikan Papanya berganti pakaian,Rana kembali bertanya, "Papa, aku boleh pinjam uang Rp. 5.000,- enggak ?" "Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini? Papa capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah"."Tapi Papa..."

Kesabaran Arya pun habis. "Papa bilang tidur !" hardiknya mengejutkan Rana.Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya.

Usai mandi, Arya nampak menyesali hardiknya. Ia pun menengok Rana di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Rana didapati sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp. 15.000,- di tangannya.Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Arya berkata "Maafkan Papa, Nak, Papa sayang sama Rana. Tapi buat apa sih minta uang malam-malam begini ? "

"Kalau mau beli mainan, besok kan bisa. Jangankan Rp. 5.000,- lebih dari itu pun Papa kasih" jawab Arya "Papa, aku enggak minta uang. Aku hanya pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini".

"lya, iya, tapi buat apa ?" tanya Arya lembut.

"Aku menunggu Papa dari jam 8. Aku mau ajak Papa main ular tangga. Tiga puluh menit aja. Mama sering bilang kalo waktu Papa itu sangat berharga. Jadi, aku mau ganti waktu Papa. Aku buka tabunganku, hanya ada Rp. 15.000,- tapi karena Papa bilang satu jam Papa dibayar Rp. 40.000,- maka setengah jam aku harus ganti Rp. 20.000,-. Tapi duit tabunganku kurang Rp.5.000, makanya aku mau pinjam dari Papa" kata Rana polos.

Arya pun terdiam. ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat dengan perasaan haru. Dia baru menyadari, ternyata limpahan harta yang dia berikan selama ini, tidak cukup untuk "MEMBELI" kebahagiaan anaknya.

Thursday 1 April 2010

Aku Punya Cerita

Cerita dimulai ketika pagi ini aku sarapan "hanya" dengan sebuah telur dadar pucat pasi tanpa cabai dengan sedikit garam. Enak atau tidaknya bukan masalah, yang penting adalah pagi ini perutku tidak lagi meneriakkan sumpah serapahnya. Setiap tahapan untuk menjadi telur dadar sejati yang diakui secara Internasional, kukerjakan sendiri.

Nasi ditambah telur dadar pucat pasi tidak terlalu buruk untuk seorang rookie di dunia rantau-merantaun. Memang, keinginan untuk melanjutkan hidup dan merajut masa depan memaksa kebanyakan orang untuk meninggalkan rumah, kampung, halaman, keluarga. kisah tragis itu ternyata berlaku juga untukku.

Nasi beserta telur dadar pucat pasi siap disantap, seperti biasa aku mengernyitkan dahi mengukur kesimetrisan telur ini dan membandingkannya dengan banyaknya tumpukan nasi. Hal ini kulakukan agar terjadi keadilan bagi semua makhluk sampai akhirnya kutemukan bahwa 12 potongan simetris telur dadar ini akan cukup untuk menghabiskan sepiring nasiku. Untuk dicatat bahwa pekerjaan ini hanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki rasa keadilan yang luar biasa. Sangat cocok dijadikan pemimpin Sumatera Barat selanjutnya. Karena itu contrenglah nomor 20 pada kertas suara anda pada Pemilihan Cagub dan Cawagub nanti. ^_^

Berikut ini kupaparkan beberapa suapan tersebut:
Suapan pertama dimulai dengan Basmallah. Kunyahan demi Kunyahan pun juga dimulai, luar biasa, ternyata rasanya memang benar-benar seperti yang diduga, tawar, hambar, benar-benar hampa. Aku menikmatinya hingga aku teringat sebuah episode, scene ini tervisualisasi jelas di otakku. Seorang ayah, ibu dan 2 orang anak laki-lakinya. Sang Ayah baru saja gajian. Pulang dengan wajah berseri mengenggam sebuah bungkusan. Setekah dibuka ternyata isinya adalah subungkus nasi beserta lauknya yang dahsyat lezatnya. Nasi dibuka, dibagi menjadi 2 bagian dan setiap bagian ditambah lagi dengan nasi putih yang baru matang, dimasak ibu. Ini dilakukan agar nasi bungkus nya cukup untuk semua orang.

Aku melanjutkan suapan nasi+telur dadar pucat pasi ku, suapan ini membawaku ke episode selanjutnya saat 2 bocah ini memiliki seorang adik yang lucu bukan main. Si anak tengah saat itu telah menjadi anak yang super lincah, hobinya bermain dan belajar. belajar tentu saja bukan prioritas, bermainlah yang utama. Si anak tengah memiliki sedikit kenakalan dimana dia suka sekali bermain hingga sore hari. Suatu hari dia bersama membawa adik kecilnya ke rumah seoarang teman untuk bermain "monopoli". Di saat yang sama sang Ayah mencari mereka berdua kemana-mana. hari itu adalah jadwal rutin mereka untuk pulang ke desa mereka. Si tengah di amanahi untuk menjaga adiknya serta tetap tinggal di rumah hingga sang Ayah pulang dan menjemput mereka berdua. Singkatnya, saat sore hari mereka pulang dengan ceria, mereka kaget menemukan bahwa sang Ayah telah pulang, mereka menemukan sebilah bambu di atas meja. Si bungsu bertanya,"wahai Kakanda yang budiman, untuk apakah bambu ini gerangan?". "Kakanda tidak mengetahuinya wahai Adinda, mungkin saja untuk memukuli kita berdua". Tebakan sang kakak tepat, sang Ayah murka, memukul mereka dan mengurung mereka di kamar sebagai hukuman.

Baru saja aku menelan sebuah suapan lagi, rasanya mulai berubah asin, garamnya ternyata tidak teraduk sempurna. Aku mengambil minuman, tegukan demi tegukanku beralih menjadi tegukan demi tegukan si anak Tengah. Matahari bersinar terik hari itu, hari Minggu. Si Sulung, si Tengah, si Bungsu bersama Ayah, Ibu, dan Nenek nya pergi ke ladang hari itu. Itulah kebiasaan keluarga ini setiap minggunya, sabtu pulang ke desa dan minggu nya ke ladang. Mereka bersiap-siap pualng saat sang Ayah mengambil sebuah kayu rapuh dimakan usia, membaginya menjadi 3 tidak sama besar dan menyerahkannya ke ketiga anaknya. Kayu ini harus mereka pikul sebagai beban agar nanti bisa digunakan untuk pengapian tungku. Si Sulung mendapatkan kayu yang cukup besar, dengan tubuh yang besar pula tentu dia mampu memikulnya. Si Tengah kebagian kayu yang besar, walaupun tidak sebesar yang didapatkan si Sulung. Si Bungsu yang masih kecil cuma kebagian ranting. Hidup memang adil bukan. Mereka pulang dengan membawa hasil panen ladang. Sore teduh itupun mengiringi kepulangan keluarga ini.

Suapan terakhir telah kuselesaikan. Aku yakin cacing diperutku tidak akan menggeliat lagi setelah aku timpuk dengan bundelan-bundelan nasi. Alhamdulillah.
Aku tersenyum, sepenggal kisah masa kecilku sangat indah. Walaupun kami hidup dalam keterbatasan, kesederhanaan bahkan kekurangan.
Pukulan-pukulan Ayah, nasehat-nasehat Ibu telah mendewasakan kami, membentuk 3 anak yang kuat dan berbakti Insya Allah.
Kuakhiri Cerita ini

Kamis, 1 April 2010 pukul 08.43 WIB
Dinaungi sejuknya udara pagi dalam kamar tempatku menata hidup


kisah ini kudedikasikan untuk ayah ku tercinta yang tepat hari ini berulang tahun, happy birthday dad, aku tahu engkau telah letih mendidikku yang sangat nakal ini. well, aku sekarang begini itu semua karena ayah. i love you dad.

ps: for my brother, home soon brother, we all miss u

Wednesday 3 March 2010

Biji “apel” itu kini siap tumbuh kembali

Malam ini ketika aku susah tidur seperti biasanya, aku terpancing untuk membuka sebuah map yang mulai berdebu. Isinya tentu saja cuma sekumpulan kertas bekas. Semenjak dulu aku suka sekali mengumpulkan potongan-potongan kertas baik itu dari koran, majalah, bahkan ceceran kertas yang akan dibuangpun jika menurut ku cukup bagus akan kupungut dan kusimpan.
Aku mulai membaca lembaran demi lembaran hingga aku terhenti di sebuah lembaran yang usia nya kira-kira 6 tahun. Lembaran yang berupa surat ini kudapatkan saat aku masih duduk di bangku tsanawiyah dulu. Sebuah judul yang diboldkan tertera jelas disana. Aku mulai membaca.

SEBUTIR “APEL” UNTUK ANAK-ANAK KU DI AMPEK DUO

Untuk:
FADLLI
Di
Empat Dua

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh

Terlebih dahulu ustadz mengucapkan selamat dan sukses pada antum semua, karena berkat ketekunan dan kebersamaan, Alhamdulillah antum semua, bisa naik kelas dengan nilai yang relatif baik. Mudah-mudahan prestasi yang antum raih hari ini dapat memacu dan memicu antum untuk lebih bersemangat dan bergairah untuk mengejar cita-cita dan masa depan yang sangat begitu cerah. Amiin.
Disaat ustadz selesai mengisi rafor antum semua, terlintas di benak ustadz untuk memberikan semacam “bingkisan” untuk kalian. Namun ustadz kebingungan, bingkisan apa yang akan ustadz berikan, mau membelikan sesuatu, apa yang akan dibelikan, dan menurut hemat ustadz, hal yang seperti itu juga tidak cukup bermanfaat, di samping –jujur saja- ustadz ndak punya duit yang cukup buat itu he...he... Akhirnya ustadz berjalan dari asrama menuju kantor majlis guru dan mencoba mengerakkan jari jemari ustadz di atas keyboard di Komputer. Ustadz kemudian mencoba menuliskan kalimat demi kalimat di atas kertas yang sedang antum pegang ini.
Mungkin apa yang ditulis diatas kertas ini, tidak ada yang terlalu istimewa. Bahkan berkemngkinan hanya akan membuat antum bosan dan agak jengkel, karena apa yang tertulis ini sudah sering ustadz atau orang lain sampaikan. Akan tetapi, tulisan ini ustadz tuliskan, dilatar belakangi oleh begitu besarnya harapasn ustadz agar antum semua, bisa menjadi orang yang sukses, baik dari segi ilmu pengetahuan, ibadah, maupun dari segi kepribadian dan akhlak. Kalaupaun antum kurang tertarik dengan tulisan ini, yang penting antum mampu dan bisa meraih apa yang antum dan orangtua antum cita-citakan, sesuai dengan inti dari goresan sederhana ini.
Beberapa bulan yang lalu dalam buku “You will see ii if you believe it”, karangan Wayne D. Dyer, ustadz menemukan kata-kata mutiara yang memberikan motivasi bagi kita untuk lebih kreatif dan bersemangat dalam hidup ini, Wayne menyatakan:

It is a simple prosedure to calculate the number of seeds in an apple. But who among us can Ever say how many apples are in a seed? (artinyo cari se yo)

Dalam kata-kata di atas Wayne menggambarkan bahwa semua orang mampu menghitung berapa jumlah biji yang ada dalam sebuah apel, namun siapa yang mampu menerka dan menebak berapa buah apel yang akan dihasilkan oleh sebuah biji apel yang kita tana.
Wayne dalam kata-katanya di atas, mencoba mengibaratkan manusia itu sebagai sebuah biji apel. Artinya apa, Wayne mengingatkan pada kita bahwa kita tidak bisa mengetahui secara pasti potensi dan kemampuan yang kita miliki, kita tidak bisa memvonis bahwa diri kita dalah apa yang tampak oleh mata kita saat ini. Apalagi untuk mengatakan bahwa kita hanya yang ada saat ini saja, kalau saya sekarang begini, maka itulah saya sebenarnya, saya tidak mungkin berubah, saya tidak mungkin berubah, saya tidak mungkin bisa sukses dan menjadi orang berhasil, saya tidak bisa ini dan itu, saya hanya bisa ini dan itu saja. Itu adalah ungkapan-ungkapan yang sangat naif. Dengan kata lain, Wayne menyadarkan kita bahwa sebetulnya kita ini adalah bibit yang akan sangat mungkin untuk menghasilkan buah dengan jumlah yang tak terbatas. Di dalam diri kita yang secara fisik dhaif dan lemah ini, bersemayam berbagai macam potensi dan kemampuan, yang kalau kita tumbuhkembangkan akan menghasilkan buah yang luar biasa dan menakjubkan.
Kita mungkin sat ini tak tahu, bahwa sebetulnya mempunyai potensi untuk jadi orang terkenal, pengusaha besar, atau mungkin menjadi seorang ilmuwan yang mumpuni. Oleh sebab itu sekali lagi, jangan sekali-kali kita meracuni diri kita, jangan kita “membunuh” diri kita. Jangan sekali-kali menyatakan bahwa karena kemampuan saya seperti ini, saya tidak mungkin bisa begini atau karena orangtua saya begini atau karena alasan-alasan bodoh lainya saya tidak mungkin sukses dan berhasil. Atau hal yang paling memalukan kita berkata: Saya tidak bisa apa-apa. Jangan pernah menjadikan hal-hal yang kita hadapi sebagai dalih untuk membunuh potensi yang ada dalam diri kita.
Jadi, dengan dasar diatas, kita harus berpikiran positif, kita harus meyakini bahwa kita sebetulnya mempunyai potensi dan kesempatan untuk menjadi orang sukses. Kalau kita sudah mempunyai keyakinan yang seperti ini, ustadz yakin, semua kita termasuk orang lain akan selalu bersemangat dalam hidupnya. Orang yang mempunyai keyakinan seperti ini, Insya Allah akan sangat berpeluang untuk menjadi orang sukses. Jadi hal yang pertama yang harus dimiliki adalah keyakinan dalam diri kita bahwa sebetulnya kita ini mempunyai potensi yang luar biasa hebatnya. Kalau orang tidak punya keyakinan seperti ini, maka ia akan menjadi orang yang pesimis, apatis dan putus asa, dan akhirnya ia menjadi manusia yang mati sebelum malaikat mencabut nyawanya.
Namun kita harus ingat bahwa modal keyakinan diatas saja, tidaklah cukup mengantarkan kita pada kesuksesan. Setelah mempunyai keyakinan di atas, kita harus mempunyai modal yang kedua, yaitu usaha dan kerja keras. Biji yang ada di tangan kita tidak bisa dengan sim salabim berubah menjadi buah apel. Tanpa usaha untuk menanam dan menumbuhkembangkannya. Untuk menjadi seorang yang berhasil dan sukses kita juga harus berusaha. Salah satu usaha untuk menumbuhkembangkan potensi yang kita miliki itu adalah dengan belajar dan menuntut ilmu pengetahuan. Mencari ilmu pengetahuan itu bisa dengan mengamati, membaca, merenung, berdiskusi atau dengan cara-cara lain yang sudah kita kenal.
Jan serius bana yo.
Belajar, atau dalam konteks yang agak umum, usaha dalam mengembangkan potensi ini memang berat dan mempunyai tantangan yang sangat besar, namun kita harus tabah dan sabar melalui semua itu, kita harus tabah duduk sekian jam untuk membaca dan mengulang pelajaran, kita harus sabar mengerjakan tugas, mengikuti ujian, menerima teguran atau mungkin “bentakan” dari guru kita. Karena biji apel pun juga melewati perjuangan, tantangan serta usaha yang sangat berat dan melelahkan untuk tumbuh menjadi sebuah pohon yang menghasilkan buah. Pertama-tama ia harus rela untuk menguburkan diri dalam tanah yang kotor dan dingin, setelah itu ia harus tumbuh menjadi sebuah anak apel yang harus siap menghadapi perubahan suhu udara, bahkan kadangkala ia harus rela diinjak dan diganggu oleh binatang ataupun manusia yang lewat disamping batangnya. Setelah besar ia pun harus terus berjuang untuk menahan angin atau gangguan alam yang selalu siap mengancam kehidupannya. Kalau seperti itu keadaannya, apakah sebagai makhluk hidup yang mempunyai daya akal dan nalar akan kalah dengan sebatang apel yang tidak diberikan “apa-apa” oleh sang Khalik. Atau dengan bahasa yang lebih lembut, tidakkah kita mau belajar dari apel tersebut.
Mungkin itu yang bisa ustadz tuliskan, karena sekarang sudah jam sebelas lewat sepuluh malam, dan mata ustadz sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Namun sebelumnya ustadz akan menyimpulkan dan menyampaikan tips sukses, diantaronyo:
1. Awak harus punyo keyakinan baraso awak sangaik bisa menjadi urang sukses.
2. Awak harus rajin bausaho untuak mancapai cito-cito yang awak cito-citokan, jadi jan maleh baraja, apo lai ndak amuah mambaco atau banyak main. Pagunokan wakatu sabaiak-baiaknyo, karano maso mudo adolah maso yang sangaik potensial untuak mangambangkan diri.
3. Iringi usaho dengan selalu baibadaik ka Tuhan, salalu badoa ka Tuhan, salalu maingek Tuhan, jan sampai lupo ka Allah SWT, tunduakkan diri selalu ka Tuhan, karano bara bana pintar, hebatnyo awak, kalau indak tunduak ka Tuhan akia-akia nyo pasti akan hancua, dan hiduik indak ado keberkahannyo, apolai lupo shalat (Awak anak parabek ko a).
4. Yang ndak kalah pantiang adolah jago kepribadian dan akhlak sebagai urang muslim yang tahu dengan ajaran agamo, baik akhlak ka Tuhan, uramng tuo, keluarga, guru, juo akhlak antaro awak samo gadang, dan yang paliaaaaaang pantiang bana, akhlak awak jo lawan jenis, di sampiang hubungan mudo-mudo tu buruak manuruik agamo, adaik, sarato masyarakaik awaak, hal itulah yang banyak manghancuakan generasi mudo pado maso kini ko. Jadi tetap istiqamah yo (kalau indak picayo, anti dicubo, picayo selah ka ustadz).

Jadi, itu mungkin yang bisa ustadz tuliskan, akhirnya ustadz berdoa mudah-mudahan antum semua sukses, dan prestasinya setelah sampai dikelas yang lebih tinggi nanti bisa lebih baik, begitu juga dengan ibadahnya, serta akhlaknya.
Selaku wali kelas, guru, mitra, atau mungkin seorang teman yang sama-sama belajar dengan antum semua, ustadz memohon maaf kepada antum semua, karena dengan keadaan ustadz yang tidak mempunyai banyak pengalaman, etika ustadz yang mungkin belum selayaknya sebagai seorang guru, atau karena sifat ustadz yang suka bergurau, menyindir, atau mungkin mengeluarkan pernyataan-peryataan yang kurang baik, telah membuat kalian kesal, atau mungkin telah menganggu kenyamanan kalian dalam belajar dan menuntut ilmu.
Itu saja yang ustadz sampaikan, mudah-mudahan ukhuwah dan hubungan baik yang telah diukir selama satu tahun kurang lebih, bisa kita pelihara dan kita langgengkan sapai kita kembali pada-Nya.

Billahitaufiq walhidayah
Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh


Kantor Majlis Guru Putra
Jum’at, jam 23.40 WIB, tanggal 2 juli 2004


(tanda tangan)
Ash-roel


Aku menutup surat ini dengan tersenyum. Ada 2 hal yang terlintas di benakku saat itu bahwa seseorang yang surat ini dialamatkan kepadanya memang telah benar-benar menjadi seperti apa yang diharapkan sang ustadz, dan yang kedua adalah bahwa apa yang beliau sampaikan memang telah kurasakan.
Aku adalah seorang yang gagal. Aku benar-benar terpukul saat itu, menyesali nasib, mulai menyerah dan menerka-nerka apakah diriku memang begini adanya, apakah potensiku hanya sebatas ini saja.
Benar adanya bahwa ksesuksesan itu tidak didapatkan dengan duduk bermenung berjam-jam, menikmati alunan syair lagu dengan hembusan angin sepoi-sepoi. Kesuksesan butuh keyakinan, usaha dan doa, aku telah menyadari itu dan bertekad untuk berubah.
Meminjam perumpamaan “apel” diatas bahwa dulu aku adalah biji apel yang gagal menjadi pohon karena tak mampu bertahan dari terpaan dan cobaan, tetapi ternyata biji apel itu belumlah gagal seutuhnya, dia hanya tertimbun di tanah yang dingin, biji apel itu kini siap untuk tumbuh kembali, berjuang untuk hidup, menjadi sebuah pohon apel yang Insya Allah akan menghasilkan buah yang tak terhitung jumlahnya. Inilah aku, aku siap untuk kembali ke medan pertempuran, mengejar ketertinggalan dan menyelesaikan pertarungan dengan kemenangan berada di tanganku Insya Allah.
Syukur tak terhingga kepada Allah SWT yang telah memberikan kesempatan kedua, terima kasih kepada ustadz Asrul atas motivasi yang telah beliau tuliskan. Akhirnya, semua daya dan upaya tiadalah berarti tanpa Ridhanya sang Khalik, Rabbus samaawati wal ardli, Allah SWT.

Sunday 7 February 2010

Tanda-tanda Kiamat

Tanda-tanda Kecil Kiamat

Untuk tanda-tanda kecil sepertinya sudah hampir semuanya sudah terjadi. Coba saja dipikirkan mana dari tanda-tanda kecil kiamat berikut ini yang belum terjadi. dan ini meneguhkan saya bahwa tanda-tanda kiamat sudah terjadi 95% tinggal 5% saja yang belum terjadi yakni tanda-tanda besar kiamat. Jadi intinya Kiamat Sudah Dekat (umur bumi ini sudah sangat tua).
Budak wanita atau wanita merdeka akan melahirkan tuannya.
Orang-orang bodoh dijadikan sebagai pemimpin.
Rakyat jelata yang miskin akan tinggal di gedung-gedung yang tinggi menjulang.
Penghalalan atau legalisasi zina.
Penghalalan sutera bagi laki-laki
Penghalalan minuman keras
Musuh memperebutkan kaum muslimin
Salam hanya diucapkan pada yang dikenal
Tidak adanya kehati-hatian manusia dalam mencari rizki yang halal
Banyak dan menyebarnya bohong
Tersebarnya banyak pasar
Wanita ikut bekerja
Banyaknya saksi palsu
Tersebarnya pena
Mesjid hanya dijadikan sebagai jalan
Banyak orang mati mendadak
Banyaknya jumlah polisi
Penjual belian jabatan atau amanah
Memandang remeh kepada darah
Adanya manusia yang menjadikan Al-Quran sebagai seruling
Ilmu agama akan dituntut dari orang yang berilmu dangkal
Munculnya wanita mutabarrijat
Bermegahan dalam membangun mesjid
Orang-orang akan mewarnai rambut mereka dengan warna hitam
Adanya keinginan yang mendalam untuk dapat melihat Nabi Muhammad
Munculnya angan-angan untuk mati
Tersebarnya rumah dan kendaraan untuk setan
Munculnya mobil
Pembunuhan sesama manusia tanpa tujuan
Munculnya cara hidup mewah, manja dan boros
Taklid buta terhadap adat kebiasaan kaum Yahudi dan Nasrani
Terpecahnya umat Islam kepada beberapa kelompok
Kurangnya keberkatan waktu
Munculnya fitnah-fitnah yg menyesatkan
Banyaknya gempa bumi
Seorang laki-laki akan menaati istrinya sedangkan ia durhaka kepada ibunya
Seorang laki-laki bersikap kering kepada ayahnya & lemah lembut pada temannya
Irak dan Syam diboikot dan makanan ditahan darinya
Turki akan memerangi Irak
Gencatan senjata dan perdamaian kaum muslim dengan Rum

Tanda-tanda Besar Kiamat

Kalo tanda-tanda besar kiamat berikut saya yakin belum terjadi satupun. Ingat ada hadist yang mengatakan bahwa apabila dajjal besar (Al-Masih Dajjal) sudah muncul tapi manusia tsb belum beriman maka sia-sialah imannya, waduh saya jadi ngeri nih, Semoga saja saya punya iman yang kuat dan telah bertobat sebelum Dajjal besar nanti muncul.
Munculnya dajjal
Turunnya Nabi ‘Isa bin Maryam (setelah “40” hari dajjal di bumi)
Keluarnya Ya’juj dan Ma’juj
Terbitnya matahari dari tempat terbenamnya
Keluarnya binatang bumi (Al Jassasah)
Keluarnya asap
Pembenaman bumi di Timur, Barat, semenanjung Arabia.
Keluarnya api dari dasar teluk Aden