Wednesday 5 November 2014

Do I make You Proud, Dad? (Aku Punya Cerita Part II)

Sudah lama tidak menulis sesuatu, malam ini ingin rasanya menulis kembali, jemari ku sudah baku sehingga jika tulisan ini tidak bagus nanti nya harap pembaca berbohong demi kelangsungan serial "Aku Punya Cerita" ini. Serial "Aku Punya Cerita" pertama kali dipublish tahun 2010, saat Ayah sedang berulang tahun. Malam ini aku sengaja menulis karena aku ingin bercerita tentang sosok ayah dalam membesarkan kami.

Ayah adalah seorang yang keras, aku bisa mengerti mengapa beliau mendidik kami dengan keras, well itu karena beliau juga dididik dengan keras. Ayah dari ayahku terkenal keras dan sadis (lebay mode on), siapa yang tidak kenal Inyiak Muncak (begitu aku seharusnya memanggil kakek ku itu), hunt addict dan terkenal baik ke semua orang di desa.

Kembali ke ayahku, selain didikan yang keras dari kakek, ayah juga punya masa kecil yang pahit, harus hidup dalam keterbelakangan ekonomi, aku masih ingat saat ayah bercerita bagaimana dia harus berjalan kaki dari kediamannya di Kapeh Panji ke Garegeh untuk menuntut ilmu (kuliah saat itu), jarak yang sangat jauh menurutku. Belum lagi dengan mengabaikan sakit kaki beliau yang sudah dideritanya sejak muda. Atau cerita tentang bagaimana ayah dengan segala keterbatasan tersebut mampu menjadi yang terbaik di Aliyah nya. Aku bangga saat pertama kali ayah cerita itu tetapi seiring waktu akibat seringnya ayah menceritakan hal tersebut, aku juga jadi tidak bisa lagi menangkap pesan yang tersirat dalam cerita itu.

Aku tidak akan bercerita tentang masa lalu ayah, biarlah itu jadi cerita indah ayah yang akan selalu aku kenang sebagai motivasi ku dalam menjalani hidup yang kejam ini. Aku akan bercerita bagaimana ayah membentuk kami hingga menjadi seperti sekarang ini. Aku tidak akan mulai dengan ceritaku, tapi aku akan memulainya dengan saudara ku yang paling tua, abangku.

Abang bisa kubilang adalah copy-paste nya ayah, sosok yang keras, berwibawa, pantang menyerah, pintar dan beridealisme. Tidak hanya dari segi sifat tapi juga dari raut muka. Dia sangat mengkopi ayah. Aku mafhum kenapa dia saat ini punya karakter keras pula. Dari kami bertiga jika dibandingkan siapa yang paling menderita semasa kecil bisa kupastikan abangku ini lah orangnya. Aku masih kecil saat itu saat ayah marah besar ke si abang dan mengurung abang di WC yang tak terpakai lagi yang sama sekali tidak memiliki penerangan sedikitpun. Raungan abang memohon maaf ayah menggelegar ke langit desa, saat ayah murka seperti itu tak kan ada kata maaf dan tak kan ada yang berani mengotak-atik keputusan ayah. Malam itu abang harus menginap di WC gelap itu. Belakangan baru ku ketahui bahwa tuo (panggilan untuk nenekku) lah yang mengeluarkan abang diam-diam. Alhasil, esok paginya abang bangun dengan bentolan-bentolan kecil akibat gigitan semut api yang sudah lebih dahulu menghuni WC tersebut.

Lain abang lain diriku, aku juga turut merasakan kerasnya didikan ayah saat kecil. Walaupun tak sekeras saat ayah mendidik abang, namun apa yang ayah ajarkan lewat didikan-didikan kerasnya mampu terpatri dalam sanubariku hingga sekarang. Salah satunya yang masih jelas dalam memoriku adalah saat ayah pulang dari kantor siang itu, hari itu adalah hari Jumat. Ayah pulang sebelum waktu shalat Jumat. Sedikit untuk diketahui sebelum Pengadilan Agama melebur kedalam Mahkamah Agung, khusus hari Jumat pegawai PA diperbolehkan pulang sebelum siang. Seperti biasanya aku dan ayah berangkat ke Masjid untuk menunaikan shalat Jumat bersama. Aturan ayah mengenai shalat Jumat sangat jelas. Aku tidak diperbolehkan shalat ditempat lain. Aku harus selalu disamping ayah saat shalat. Dahulu aturan ini sangat menyiksaku karena harus selalu duduk di shaf terdepan, harus selalu mendengarkan khatib ceramah, tidak bisa bergabung bersama teman-teman di shaf paling belakang dan ikut berlomba dengan mereka agar menjadi pemenang siapa yang paling awal keluar masjid. Arrghh, aturan ayah sangat tidak tidak menyenangkan dan mengekang. Tidak seperti anak-anak sekarang yang memberontak jika dikekang orangtua mereka, rasa hormatku pada ayah yang teramat dalam membuatku menuruti segala aturan ayah. Walaupun itu berarti menyiksaku.

Kami bertiga, terutama aku tidak selalu patuh pada aturan ayah. Beberapa kali kami, terutama aku menolak aturan yang ditetapkan ayah. Jangan pikirkan penolakan yang aku lakukan seperti yang disuguhkan di FTV-FTV berjudul sinting seperti “Anakku Pembunuh Berantai” atau sinetron yang sedang booming yaitu “Gurih Gurih Srikaya”. Kami terutama aku tidak pernah meninggikan suara jika aturan ayah kurasa berlebihan. Hal yang selalu aku lakukan adalah menangis dan berdiam diri di kamar. Biasanya setelah satu atau dua jam menangis aku sudah tenang dan siap berhadapan dengan ayah kembali.

Sebenarnya masih banyak aturan ayah yang ayah terapkan dalam mendidik kami. Namun kali ini aku hanya akan membongkar sedikit saja. Jika suatu saat nanti aku punya kesempatan, aku akan ceritakan yang lebih banyak lagi.

Sebelum aku tutup, aku ingat suatu kali ayah pernah mengungkapkan kekecawaannya akibat kenakalan kami dengan sebuah kalimat. Kalimat yang ayah ucapkan ini mengena betul di sanubariku. Ayah berkata dengan penuh kecewa “mancaliak anak urang titiak liua, mancaliak anak awak titiak ingua”, bahwa saat ayah melihat anak orang lain, ayah melihat masa depan yang cerah namun saat ayah memalingkan muka ke anak sendiri ayah tak menemukan apa-apa selain penyesalan yang mungkin akan kami rasakan dimasa depan. Saat mendengar ayah berkata demikian, batinku menjerit. Hatiku berucap, aku akan buktikan ayah salah, aku akan jadi “orang”, begitu gumamku saat itu. 15 tahun berlalu sudah. Hari ini Senin 9 September 2014, aku menemukan namaku muncul diantara ratusan nama lain dalam pengumuman kelulusan di Kementerian Keuangan. Tertera jelas disana namaku. Aku diterima di Direktorat Jenderal Pajak. Maha Suci Allah, Sungguh Allah Dzat yang Maha Pemurah, Alhamdulillah, berkat Rahmat Allah Ta’ala aku secara resmi telah menjadi Pegawai Negeri Sipil. Aku berhasil membuktikan kepada ayah bahwa kecemasan ayah telah salah. Aku berhasil mengikuti jejak ayah menjadi seorang PNS. Sekarang ditanganku ada kunci menuju hal-hal besar berikutnya yang siap aku jalani selanjutnya.

I wish you still remember your words Dad. Do I make you Proud dad? I do make you proud, don’t I?

Kututup cerita ini.

Ciputat
Rabu, 15 Dzulqaidah 1435 H

PS: Aku Punya Cerita http://nightadmirer.blogspot.com/2010/04/aku-punya-cerita.html