Monday 24 May 2010

Kenang

Saat aku membuka pintu rumah, abangku telah ada di ruang tamu, ia termenung di pojok, entah apa yang dipikirkannya. Seketika aku ingin menghiburnya, tapi leherku seperti tertekan, suara enggan keluar dari mulutku. Aku duduk di samping kirinya, bisa ku lihat dari ujung matanya, bening dan basah seperti sedang menahan sesuatu yang ingin sekali menerobos. Ia hanya diam, menatap kaki meja, sedang ibuku sibuk membereskan barang-barang abang yang masih tersisa di depan tv.

Aku memberanikan diri memulai, "Bang, nanti kalau abang sampai di sana pasti abang punya banyak teman, jangan lupa sering telpon ke rumah ya?" dengan nada yang kupaksakan ceria, abangku hanya menoleh sebentar ke arahku, lalu wajahnya berpaling lagi.

Hampir lima belas menit kami saling diam, selama itu pula aku dan dia menahan air mata agar tidak jatuh. Aku sebenarnya ingin menangis lagi, tapi aku malu, aku malah berharap ia menangis duluan biar aku punya alasan menangis jika ibuku nanti bertanya kenapa aku menangis. Tapi ia tetap diam, atau mungkin waktu aku masih di sekolah tadi dia sudah capek menangis.

Teriakan adikku membuyarkan khayal sedih kami, aku yakin apa yang baru saja abangku pikirkan tadi sama seperti yang aku pikirkan, aku telah berusaha menyapa dan menguatkan hatinya saat aku menemuinya dalam dunia pikir kami tadi,tapi tak bisa.

Ibu menyuruh abang makan sebelum berangkat, mau tidak mau aku juga ikut makan karena kurang bijak bila aku membiarkannya makan sendirian sementara keadaannya menyedihkan seperti itu.

Ia menyendokkan nasi dengan sangat hati-hati, pelan sekali, sepertinya jika ada satu saja ia menjatuhkan butir nasi Allah akan langsung mengazabnya. Tapi ia tidak bisa menyembunyikan rahasianya dariku, tangannya bergetar hebat saat sendokan pertama, ia hanya mengambil sedikit nasi, tidak seperti sendokan-sendokannya kemarin.Ia tidak langsung makan saat sendokannya selesai, nampak sekali kalau ia ingin menunggu sendokanku selesai dan makan bersamaku, lalu hal yang tidak kuduga pun terjadi, saat kami sama-sama akan memulai suapan pertama kami, aku melihat sekilas, ada air yang menetes di suapan nasinya.

Padahal aku sudah berusaha buta, pura-pura tidak melihat, tapi air mataku memang kurang ajar, aku ikut menangis, ibuku yang sedang berberes-beres di kamar depan nampaknya tidak berminat mendiamkan kami, ia tetap di sana. (belakangan ku ketahui, alasan ibuku tidak pernah datang untuk mendiamkan kami di saat-saat terakhir itu adalah karena beliau juga ikut menangis.)

Ia bertanya, "Kenapa menangis?" ku jawab "Karena abang menangis" lalu sambil terisak aku bertanya, "Abang kenapa menangis? Bukannya sekolah ke jawa itu enak? Dekat dengan Surabaya, abang bisa jalan-jalan ke sana kalau ayah mengunjungi abang?" pelan ia menjawab "Sebentar lagi abang pergi, abang tidak siap, abang tidak pernah berpikir akan meninggalkan rumah secepat ini, abang masih kecil, masih dua belas tahun, lalu abang kepikiran Abi –panggilanku di rumah— kalau abang pergi, Abi main sama siapa? Siapa yang temani Abi tidur? Abang sedih kalau mengingat Abi ketakutan saat tidur sendirian nanti.."

Degg, aku kaget mendengar jawabannya, jadi yang membuat ia sedih belakangan ini adalah karena ia mengkhawatirkan aku. Tidak bisa kutahan lagi isak ini, aku menangis sepuasku dengan suara yang lepas, aku ingin puas-puas menangis di depan abangku ini.

Aku juga dulu memikirkan hal yang sama dengannya, kenapa ayahku tega mengirim abang ke jawa, padahal abang masih kecil, kalau dibandingkan dengan teman-temannya yang sebaya, ia termasuk deretan anak-anak yang pendek.

Saat aku mengajukan protes itu pada ibu saat beliau sedang di dapur, beliau menjawab "Iya, mama tau, mama juga sudah memikirkan hal itu, tapi khan Abi tau sendiri, abang itu sekolahnya di SD Katolik, dari kelas satu dulu dia sudah di sana –karena memang saat itu belum ada Madrasah Ibtidaiyah di kota kami-- nah pertimbangan mama dan ayah, kalau abang tetap melanjutkan sekolahnya di sini takutnya nanti abang tidak mengerti agama sama sekali walaupun mama sebenarnya bisa mengajar, tapi tentunya mama tidak bisa mengajar sebanyak apa yang akan abang terima di jawa nanti, abang khan di jawa akan masuk pondok pesantren."

Kalau ku pikir-pikir, apa yang di katakan ibuku benar juga, aku tahu kalau pengetahuan abang tentang agama sangat minim, yang ia tahu mungkin hanya bacaan-bacaan sholat, baca Al Quran, doa tidur, makan, dan doa-doa simpel lainnya. Untuk hal-hal lain, aku bisa pastikan ia tidak tahu, walaupun di sekolah ia selalu juara, juaranya hanya untuk pendidikan sekolah Katoliknya saja, bukan pendidikan agama Islam, apalagi di sekolahnya tidak diajarkan pelajaran agama Islam.

Aku ingat beberapa minggu yang lalu, saat abangku pulang ujian Ebtanas, ia langsung menghampiriku yang sedang asik dengan game, ia bertanya dengan malu-malu, "Bi, yang benar itu Nabi lahirnya di kota Mekkah atau Madinah? Terus pelajaran membaca Al Quran itu apa sih namanya?"
Aku hampir tertawa dibuatnya, masa itu saja ia tidak tahu, padahal ibu guruku di Madrasah telah mengajarkan hal itu sejak kami kelas satu dulu. Tidak menjawab, aku malah balik bertanya "Emang kenapa bang? Abang tadi ujian agama ya?" sambil mendesah ia menangguk, "Abang menyesal, harusnya waktu pak Yohanes menyuruh bertanya pilih ikut ujian agama Katolik atau Islam? harusnya abang memilih agama Katolik saja, karena abang lebih tau tentang masalah itu." Sambil tersenyum aku berkata "Tidak apa bang, harusnya abang bangga karena abang menentukan pilihan yang tepat, walaupun pengetahuan abang tentang Islam masih sedikit tapi abang membuat keputusan yang berani, abang memilih agama yang benar." masih menahan tawa, aku kembali bertanya "Tapi ngmong-ngmong tadi abang jawab apa?"

Dengan malu-malu abangku bercerita " Hehehe, abang jawab sebisa abang saja, pertanyaan di kota apa Nabi lahir abang jawab saja di Arab, walaupun itu bukan kota tapi lebih aman daripada abang jawab kota tapi salah, terus ilmu yang mengkaji cara-cara membaca Al Quran abang jawab pengajian, karena memang abang tidak tahu apa namanya, semoga di benerin sama pak yang mengoreksi."

Hahahahaha, kali ini tidak bisa menahan tawaku lagi, abang..abang walaupun kau hebat di sekolahmu, tapi kelemahanmu menganga, pertanyaan mudah seperti itu saja kau tidak tahu..
Bersambung..

Friday 21 May 2010

Belajar dari Salman

Salman Al-Farisi pernah menangis saat sakit di akhir usianya. Sa'ad yang saat itu menjenguk bertanya, "Apa yang membuatmu menangis, wahai saudaraku? Bukankah engkau pernah menemani Rasulullah? Bukankah engkau begini dan begitu?"

Salman menjawab, "Tidaklah aku menangis karena salah satu dari dua hal. Aku tidak menangis karena sakit. Dan tidak pula karena membenci akhirat. Tetapi Rasulullah pernah mengamanatkan sebuah amanat kepadaku hingga tidaklah aku melihat kecuali aku tidak melakukannya."

"Apakah yang beliau amanatkan kepadamu?" tanya Sa'ad dengan heran. Bagaimana mungkin Salman Al-Farisi yang demikian zuhud dan luar biasa tidak mampu menjalankan amanat itu. "Beliau mengamanatkan bahwa hendaklah seorang diantara kalian (menjadi) seperti perbekalan orang yang hendak pergi. Tidaklah diperlihatkan kepadaku kecuali aku telah melampaui batas" jawab Salman.

Itulah Salman. Sahabat yang berprestasi saat menjadi jundi dan pemberi qudwah saat menjadi qiyadah. Ia telah memimpin dengan cinta. Ia telah menyerahkan seluruh gajinya ke baitul mal. Ia tidak pernah memegang uang lebih dari 3 dirham setiap harinya. Hanya 1 dirham untuk makan, 1 dirham disedekahkan, dan 1 dirham untuk modal esok. Adakah yang lebih sederhana dari itu? Namun Salman tetap risau. Ia khawatir bahwa ia telah berlebih-lebihan.

Sikap ini tidak hanya dimiliki oleh Salman. Generasi sahabat adalah generasi zuhud dan wara' serupa itu. Tidak peduli apakah mereka tergolong miskin seperti para ahlu suffah ataukah kaya seperti Usman. Seperti Salman, Usman juga menangis di akhir hayatnya. "Ada sahabat Rasulullah SAW yang jauh lebih baik dariku, yaitu Mus’ab bin Umair, yang ketika wafat tidak meninggalkan harta sedikitpun juga. Ia bahkan tidak punya cukup kain kafan untuk menutupi jasadnya, hingga jika kepalanya ditutup maka kakinya terbuka, jika kakinya ditutup maka kepalanya terbuka. Lalu apa artinya bahwa mendapatkan kekayaan yang melimpah ruah ini sementara mereka tidak?? Tidakkah kekayaan ini malah akan mengantarkan aku ke neraka??" demikian kata-kata dalam isaknya.

Kehidupan kita hari ini jauh lebih mewah daripada jalan yang dipilih Salman. Kalaupun tidak sekaya Usman, kita pun lebih menikmati dunia darinya. Dan pastinya kita belum berinfaq sebanyak Usman atau sehebat Salman.

Lalu mengapa belum ada kerisauan seperti yang dirasakan Salman? Bukankah kita lebih dekat dengan sikap berlebih-lebihan? Bukankah kita jauh lebih mengabaikan amanat Rasulullah itu? Rupanya bukan hanya sikap zuhud dan wara' yang tidak bisa kita miliki, bahkan kita cenderung tidak tahu diri. Merasa aman-aman saja, dan tidak ada masalah. Inilah masalah terbesarnya.

Tanpa kesadaran itu kita akan lebih mudah tertipu. Lebih jauh terperosok dalam jurang dosa, lebih jauh terperangkap dalam belantara maksiat. Hingga sakaratul maut membelalakkan mata kita. Hingga alam barzakh menyentakkan jiwa kita. Saat dua malaikat telah hadir dengan segala pertanyannya...

Salman mengajarkan kepada kita, sebagaimana ia mengajarkannya kepada Sa'ad. Lanjutan dari dialog yang diriwayatkan Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani tersebut menunjukkan bagaimana nasehat Salman: "Adapun kamu wahai Sa'ad, takutlah kamu kepada Allah terhadap keputusanmu ketika kamu memutuskan, atau pembagianmu ketika kamu membagikan, dan dalam keinginanmu ketika kamu menginginkan."

Di akhir hadits itu disebutkan bagaimana sikap Sa'ad selanjutnya. Ketika ia meninggal, ia hanya memiliki kekayaan 20 dirham.

Kita? Maukah mengambil pelajaran darinya?

Sumber: muchlisin.blogspot.com