Thursday 17 December 2015

My Memoirs about You; Kukira Ini Hanya Dunia, Namun Ternyata Akhirat Juga [Part II]

Tiupan angin siang itu menambah anggun dirimu. Mengenakan jilbab lebar seperti terakhir kali aku mellihatmu membuatku seakan tak merasakan kemana perginya lima tahun terakhir. Seiring ojek yang kukendarai mendekati rumahmu, aku memandangmu namun seketika tertunduk tak tentu sebab. Aku terus menghindari bertemu pandang denganmu hingga akhirnya ojek yang kunaiki berhenti tepat didepan rumahmu. Aku turun perlahan. Bertanya kepada sang pengendara ojek berapa rupiah yang harus aku bayar. Aku sudah tau sebenarnya, hanya saja kenyataan bahwa kau tepat dibelakangku berdiri menunggu membuatku canggung. Badanku hampir tak dapat aku kendalikan. Aku mengulur waktu agar tubuh dan hatiku siap menghadapi hal luar biasa yang sejenak lagi akan kualami, bertemu dan berbicara padamu.

Setelah menyelesaikan muamalah dengan pengendara ojek yang kutumpangi, aku berbalik dan sosokmu tepat berada di hadapanku. Aku memandangmu sejenak kemudian melempar pandang ke tanah. Hatiku bergetar, kakiku gemetar. Belum lagi hatiku kembali normal, kau membuka suara. Dengan sopan engkau mempersilahkanku untuk masuk ke rumahmu. Mendegar suaramu aku runtuh seketika. Aku tak dapat lagi mengendalikan jiwa dan pikiran ku. Sejenak aku mendapati diriku larut dalam kenangan masa SMA saat sosok dan suaramu adalah hal yang mengiringi hari-hariku di kelas. Aku mendengarmu, mendengar setiap jawabanmu saat ditanyai oleh  guru. Mendengar gelak tawamu saat kau bercanda dengan teman di bangkumu saat jam istirahat. Aku melihat sosokmu, melihatmu saat kau mengambil spidol dan menulis jawaban dari pertanyaan yang diberikan oleh guru didepan kelas kita, pun saat kau berlalu di depan pintu. Ribuan kenangan itu serasa dicucurkan langsung ke alam pikiranku. Aku hanya membiarkan diriku larut dan tak berkeinginan untuk kembali tersadar. Aku hanya manusia biasa, aku bisa apa.

Aku berjalan mengikutimu masuk kedalam rumahmu, hatiku masih berdegup kencang, kakiku masih gemetaran. Kau mempersilahkanku duduk dan tanpa basa basi aku menanyakan dimana kamar mandi saat itu. Perjalanan panjang Ciputat - Serpong membuatku acak-acakan. Aku tak gagah, aku tau itu. Satu dua sapuan sisir tak akan mengubah kenyataan itu seketika. Namun aku tak ingin terlihat buruk didepanmu. Terutama saat itu. Setelah merapikan pakaianku, aku berwudhu. Ah aku belum shalat zuhur ujarku dalam hati. Aku keluar dari kamar mandi dan meminjam tempat agar aku bisa shalat. Didalam doaku, aku meminta Yang Maha Pemberi Rizki Meridhai segala usahaku. Memberikan keputusan terbaik atas pertemuanku denganmu. Tak lupa kuselipkan doa agar engkau, kakak-adikmu, ayah-bundamu serta keluargamu menjadi keluargakupun kelak.

Papamu telah duduk disana, menantiku menyelesaikan shalatku. Sejujurnya aku tak siap jika harus bertemu dengan papamu. Tapi aku paham bahwa dengan aku menginginkanmu aku harus menunjukkan itikad baik itu kepada papamu. Akupun jika kelak menjadi seorang ayah, tak akan kubiarkan sembarang lelaki menghubungi putriku. Aku akan menjaga putriku seperti yang papamu lakukan padamu. Aku belajar banyak dari sosok papamu hari itu.

Aku duduk tepat diseberang papamu. Kau masih sibuk didapur menyiapkan minuman saat itu. Aku mulai membuka suara. Memperkenalkan diriku pada papamu. Menjelaskan maksud kedatanganku hari itu. Percakapan dimulai. Aku mulai bercerita tentang diriku, mencoba meyakinkan pada papamu bahwa aku datang dengan niat yang baik. Mencoba meyakinkan papamu bahwa aku mampu menjadi imammu. Menafkahi dan mendidikmu. Aku ceritakan semuanya hingga tak terasa percakapan itu hanya tentang diriku saja. Menyadari itu aku berhenti kemudian mulai menanyakan tentang sosokmu dimata papamu. Di saat itu kau kembali dari dapur dan duduk disebelah papamu dan mulai mendengarkan. Papamu terdiam sejenak, memandangmu kemudian berkata betapa lugunya dirimu dan bahwa tak pernah ada lelaki yang sampai sejauh dimana aku berdiri sekarang. Seketika mataku terbuka, aku mulai memahami bahwa papamu tak perlu seorang sosok sombong yang merasa mampu dan percaya diri untuk menjadi imammu. Itu penting namun yang papamu lebih inginkan sangat sederhana namun begitu susah dipenuhi. Bahwa papamu menginginkan agar lelaki yang memilikimu nanti bisa menggantikan posisinya dengan sempurna, dengan segala lebih dan kurangnya, lelaki itu mampu mencurahkan rasa sayang dan rasa cintanya padamu. kalaupun tak lebih, sekurangnya seperti yang papamu berikan selama ini padamu. Aku melihat ketidakikhlasan di mata papamu saat mengatakan itu, aku tahu bahwa dia tak akan pernah yakin ada sesorang yang bisa menggantikan perannya dalam menyayangimu sepanjang hidupmu. Aku melihat bahwa papamu bahkan tak siap jika kau harus bersama laki-laki yang sama sekali asing baginya. Aku melihat semua itu dan aku sadar ini tak lagi tentang perasaan suka dan cinta. Ini adalah tentang mengambil seluruh tanggung jawab dari seorang ayah dan meletakkannya di pundakku. Sebuah tanggung jawab yang sangat besar dengan konsekuensi surga atau neraka bagiku. Aku sadar dan aku merasa malu, sangat malu dihadapan papamu saat itu. Rasa percaya diriku runtuh, rasa bangga yang kubawa dipundakku terasa tak ada nilainya. Papamu menekukku hanya dengan dua sampai tiga kalimat darinya. Aku tertunduk memandang meja. Aku tersadarkan, aku telah paham.

Bersambung..

Tuesday 27 October 2015

My Memoirs about You; Semua Tentangmu, Indah Dimataku [Part I]

Deru motor melaju memecah suasana jalanan Tangerang siang itu, aku berujar kepada pengemudi ojek yang kunaiki.
“Mas bisa lebih cepat lagi, tolong?” bisikku sembari mengecek jam yang kupinjam dari abangku sebelumnya.
Si mas ojek tampak tak peduli dengan permintaanku, ia tetap melaju normal, tak tampak ada keinginan untuk  memenuhi permintaanku. Aku menghela napas. Aku telat.

Hari Sabtu kala itu, sedari pagi aku telah terjaga. Aku merapikan badan secepatnya kemudian berangkat ke pasar di bilangan Ciputat. Aku menembus pasar tradisional yang masih lengang itu, memegang secarik kertas berisi hal-hal yang hendak kubeli.
Tidak biasanya aku sesibuk itu dihari liburku. Di hari yang sama dengan keadaan biasa aku mungkin masih asyik bersandar di tempat tidur busa milik abang ku, berselimut sarung sembari memeluk bantal seakan-akan aku dan bantalku adalah teman baik yang kembali bertemu setelah puluhan tahun berpisah. Tetapi hari itu adalah pengecualian. Hari itu bukanlah hari biasa. Hari itu adalah hari aku akan bertemu engkau, sebuah jiwa yang tetiba merenggut kenikmatan atas kesendirianku, berganti dengan keinginan yang sangat untuk bersama berdua. Sebuah pribadi yang tanpa berbicara dengan kata-kata menyelaku akan segala kekuranganku dan menegurku atas kelalaian yang selama ini kupertahankan. Dialah engkau wahai sang Putri Kedua. Harapan yang telah dipendam sekian lama agar bisa bertatap muka denganmu setelah lebih dari lima tahun tak bersua melejitkan semangatku pagi itu.

Setelah menyelesaikan semua hal yang tertulis di daftar yang kubawa, aku bergegas pulang ke kosan abangku.
“Jadi bertemu dengannya?” suara abangku membuyarkan konsentrasiku yang sedang mematut penampilan didepan cermin.
“InshaAllah” ujarku.
“Semoga dimudahkan Allah” balas abangku.
“Aamiin, Makasih bang” jawabku sembari terus sibuk bersiap diri.
“Aku berangkat bang,  Assalamu'alaikum!” teriakku sambil berlari keluar kamar.
Inilah saatnya, detik demi detik kedepan puluhan kilometer jarak yang membentang diantara kita akan sedikit demi sedikit berkurang, membayangkan hal itu, timbul rasa gugup di dadaku, aku gugup , sangat gugup.

“Serpongnya dimana dek?” tanya pengemudi ojek menyadarkanku dari lamunku.
Aku melirik handphoneku yang sudah stand by dengan aplikasi peta Jabodetabek.
“Lurus lagi bang, Serpong Mas Blok E” ujarku.
Si abang dengan sigap meliuk-liuk di sibuknya jalanan serpong, hingga tetiba dia mengambil belokan kekiri dan berujar.
“Ini Serpong Mas, masuk ya dek” akupun mengangguk tanda setuju.

Tak jauh berjalan sampailah aku didepan gerbang blok yang dimaksud. Setelah menjawab beberapa pertanyaan sang penjaga gerbang aku melaju menuju rumah engkau. Hatiku berdegub kencang. Dari jauh aku melihat seorang gadis berdiri terpaku. Hijabnya berkibar tertiup angin siang itu. Aku yang sedari jauh telah melihat pemandangan itu hanya dapat tersenyum. Aku mengenal sosok tersebut. Sosok yang tak pernah kulihat lagi dalam 5 tahun terakhir. Itulah engkau, sang bidadari yang selama ini aku puja. Engkau menungguku didepan rumahmu. Seberkas cahaya memancar jelas dari matamu. Menyiratkan seberkas warna yang akupun tak tau artinya apa. Engkau tersenyum, aku tersenyum. Setelah sekian lama aku melihatmu lagi. Dan kau masih tampak sangat indah, dimataku.

Bersambung..