Tiupan angin siang itu menambah
anggun dirimu. Mengenakan jilbab lebar seperti terakhir kali aku mellihatmu
membuatku seakan tak merasakan kemana perginya lima tahun terakhir. Seiring ojek yang
kukendarai mendekati rumahmu, aku memandangmu namun seketika tertunduk tak tentu
sebab. Aku terus menghindari bertemu pandang denganmu hingga akhirnya ojek yang
kunaiki berhenti tepat didepan rumahmu. Aku
turun perlahan. Bertanya kepada sang pengendara ojek berapa rupiah yang harus
aku bayar. Aku sudah tau sebenarnya, hanya saja kenyataan bahwa kau tepat
dibelakangku berdiri menunggu membuatku canggung. Badanku hampir tak dapat aku
kendalikan. Aku mengulur waktu agar tubuh dan hatiku siap menghadapi hal
luar biasa yang sejenak lagi akan kualami, bertemu dan berbicara padamu.
Setelah menyelesaikan muamalah
dengan pengendara ojek yang kutumpangi, aku berbalik dan sosokmu tepat berada
di hadapanku. Aku memandangmu sejenak kemudian melempar pandang ke tanah. Hatiku
bergetar, kakiku gemetar. Belum lagi hatiku kembali normal, kau membuka suara.
Dengan sopan engkau mempersilahkanku untuk masuk ke rumahmu. Mendegar suaramu
aku runtuh seketika. Aku tak dapat lagi mengendalikan jiwa dan pikiran ku. Sejenak aku mendapati diriku larut dalam
kenangan masa SMA saat sosok dan suaramu adalah hal yang mengiringi hari-hariku
di kelas. Aku mendengarmu, mendengar setiap jawabanmu saat ditanyai oleh guru. Mendengar gelak tawamu saat kau bercanda
dengan teman di bangkumu saat jam istirahat. Aku melihat sosokmu, melihatmu
saat kau mengambil spidol dan menulis jawaban dari pertanyaan yang diberikan
oleh guru didepan kelas kita, pun saat kau berlalu di depan pintu. Ribuan kenangan
itu serasa dicucurkan langsung ke alam pikiranku. Aku hanya membiarkan diriku
larut dan tak berkeinginan untuk kembali tersadar. Aku hanya manusia biasa, aku
bisa apa.
Aku berjalan mengikutimu masuk
kedalam rumahmu, hatiku masih berdegup kencang, kakiku masih gemetaran. Kau mempersilahkanku
duduk dan tanpa basa basi aku menanyakan dimana kamar mandi saat itu. Perjalanan
panjang Ciputat - Serpong membuatku acak-acakan. Aku tak gagah, aku tau itu. Satu
dua sapuan sisir tak akan mengubah kenyataan itu seketika. Namun aku tak ingin
terlihat buruk didepanmu. Terutama saat itu. Setelah merapikan pakaianku, aku
berwudhu. Ah aku belum shalat zuhur ujarku dalam hati. Aku keluar dari kamar
mandi dan meminjam tempat agar aku bisa shalat. Didalam doaku, aku meminta Yang
Maha Pemberi Rizki Meridhai segala usahaku. Memberikan keputusan terbaik atas
pertemuanku denganmu. Tak lupa kuselipkan doa agar engkau, kakak-adikmu, ayah-bundamu
serta keluargamu menjadi keluargakupun kelak.
Papamu telah duduk disana,
menantiku menyelesaikan shalatku. Sejujurnya aku tak siap jika harus bertemu
dengan papamu. Tapi aku paham bahwa dengan aku menginginkanmu aku harus
menunjukkan itikad baik itu kepada papamu. Akupun jika kelak menjadi seorang
ayah, tak akan kubiarkan sembarang lelaki menghubungi putriku. Aku akan menjaga
putriku seperti yang papamu lakukan padamu. Aku belajar banyak dari sosok
papamu hari itu.
Aku duduk tepat diseberang
papamu. Kau masih sibuk didapur menyiapkan minuman saat itu. Aku mulai membuka
suara. Memperkenalkan diriku pada papamu. Menjelaskan maksud kedatanganku hari
itu. Percakapan dimulai. Aku mulai bercerita tentang diriku, mencoba meyakinkan
pada papamu bahwa aku datang dengan niat yang baik. Mencoba meyakinkan papamu
bahwa aku mampu menjadi imammu. Menafkahi dan mendidikmu. Aku ceritakan
semuanya hingga tak terasa percakapan itu hanya tentang diriku saja. Menyadari
itu aku berhenti kemudian mulai menanyakan tentang sosokmu dimata papamu. Di
saat itu kau kembali dari dapur dan duduk disebelah papamu dan mulai
mendengarkan. Papamu terdiam sejenak, memandangmu kemudian berkata betapa
lugunya dirimu dan bahwa tak pernah ada lelaki yang sampai sejauh dimana aku
berdiri sekarang. Seketika mataku terbuka, aku mulai memahami bahwa papamu tak perlu
seorang sosok sombong yang merasa mampu dan percaya diri untuk menjadi imammu.
Itu penting namun yang papamu lebih inginkan sangat sederhana namun begitu
susah dipenuhi. Bahwa papamu menginginkan agar lelaki yang memilikimu nanti
bisa menggantikan posisinya dengan sempurna, dengan segala lebih dan kurangnya,
lelaki itu mampu mencurahkan rasa sayang dan rasa cintanya padamu. kalaupun tak
lebih, sekurangnya seperti yang papamu berikan selama ini padamu. Aku melihat
ketidakikhlasan di mata papamu saat mengatakan itu, aku tahu bahwa dia tak akan
pernah yakin ada sesorang yang bisa menggantikan perannya dalam menyayangimu
sepanjang hidupmu. Aku melihat bahwa papamu bahkan tak siap jika kau harus
bersama laki-laki yang sama sekali asing baginya. Aku melihat semua itu dan aku
sadar ini tak lagi tentang perasaan suka dan cinta. Ini adalah tentang
mengambil seluruh tanggung jawab dari seorang ayah dan meletakkannya di
pundakku. Sebuah tanggung jawab yang sangat besar dengan konsekuensi surga atau
neraka bagiku. Aku sadar dan aku merasa malu, sangat malu dihadapan papamu saat
itu. Rasa percaya diriku runtuh, rasa bangga yang kubawa dipundakku terasa tak
ada nilainya. Papamu menekukku hanya dengan dua sampai tiga kalimat darinya. Aku tertunduk
memandang meja. Aku tersadarkan, aku telah paham.
Bersambung..
Bersambung..