Deru motor melaju memecah suasana
jalanan Tangerang siang itu, aku berujar kepada pengemudi ojek yang kunaiki.
“Mas bisa lebih cepat lagi,
tolong?” bisikku sembari mengecek jam yang kupinjam dari abangku sebelumnya.
Si mas ojek tampak tak peduli
dengan permintaanku, ia tetap melaju normal, tak tampak ada keinginan
untuk memenuhi permintaanku. Aku
menghela napas. Aku telat.
Hari Sabtu kala itu, sedari pagi
aku telah terjaga. Aku merapikan badan secepatnya kemudian berangkat ke pasar di
bilangan Ciputat. Aku menembus pasar tradisional yang masih lengang itu,
memegang secarik kertas berisi hal-hal yang hendak kubeli.
Tidak biasanya aku sesibuk itu dihari
liburku. Di hari yang sama dengan keadaan biasa aku mungkin masih asyik
bersandar di tempat tidur busa milik abang ku, berselimut sarung sembari
memeluk bantal seakan-akan aku dan bantalku adalah teman baik yang kembali
bertemu setelah puluhan tahun berpisah. Tetapi hari itu adalah pengecualian. Hari
itu bukanlah hari biasa. Hari itu adalah hari aku akan bertemu engkau, sebuah
jiwa yang tetiba merenggut kenikmatan atas kesendirianku, berganti dengan
keinginan yang sangat untuk bersama berdua. Sebuah pribadi yang tanpa berbicara
dengan kata-kata menyelaku akan segala kekuranganku dan menegurku atas
kelalaian yang selama ini kupertahankan. Dialah engkau wahai sang Putri Kedua.
Harapan yang telah dipendam sekian lama agar bisa bertatap muka denganmu setelah
lebih dari lima tahun tak bersua melejitkan semangatku pagi itu.
Setelah menyelesaikan semua hal
yang tertulis di daftar yang kubawa, aku bergegas pulang ke kosan abangku.
“Jadi bertemu dengannya?” suara abangku
membuyarkan konsentrasiku yang sedang mematut penampilan didepan cermin.
“InshaAllah” ujarku.
“Semoga dimudahkan Allah” balas
abangku.
“Aamiin, Makasih bang” jawabku
sembari terus sibuk bersiap diri.
“Aku berangkat bang, Assalamu'alaikum!” teriakku sambil berlari
keluar kamar.
Inilah saatnya, detik demi detik
kedepan puluhan kilometer jarak yang membentang diantara kita akan sedikit demi
sedikit berkurang, membayangkan hal itu, timbul rasa gugup di dadaku, aku gugup , sangat gugup.
“Serpongnya dimana dek?” tanya pengemudi
ojek menyadarkanku dari lamunku.
Aku melirik handphoneku yang
sudah stand by dengan aplikasi peta Jabodetabek.
“Lurus lagi bang, Serpong Mas Blok
E” ujarku.
Si abang dengan sigap meliuk-liuk
di sibuknya jalanan serpong, hingga tetiba dia mengambil belokan kekiri dan
berujar.
“Ini Serpong Mas, masuk ya dek”
akupun mengangguk tanda setuju.
Tak jauh berjalan sampailah aku
didepan gerbang blok yang dimaksud. Setelah menjawab beberapa pertanyaan sang
penjaga gerbang aku melaju menuju rumah engkau. Hatiku berdegub kencang. Dari jauh aku melihat seorang gadis berdiri terpaku. Hijabnya berkibar tertiup angin siang itu. Aku yang sedari jauh telah melihat pemandangan
itu hanya dapat tersenyum. Aku mengenal sosok tersebut. Sosok yang tak pernah
kulihat lagi dalam 5 tahun terakhir. Itulah engkau, sang bidadari yang selama
ini aku puja. Engkau menungguku didepan rumahmu. Seberkas cahaya memancar jelas dari matamu. Menyiratkan seberkas warna yang akupun tak tau artinya apa. Engkau tersenyum, aku tersenyum. Setelah sekian lama aku melihatmu lagi. Dan kau masih tampak sangat indah, dimataku.
Bersambung..