Wednesday 14 April 2010

Read

Seperti biasa Arya, Karyawan di sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Rana, putri pertamanya yang baru duduk di kelas tiga SD membukakan pintu untuknya.Nampaknya ia sudah menunggu cukup lama. "Kok, belum tidur ?" sapa Arya sambil mencium anaknya.

Biasanya Rana memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari.Sambil membuntuti sang Papa menuju ruang keluarga, Rana menjawab, "Aku nunggu Papa pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Papa ?" "Lho tumben, kok nanya gaji Papa ? Mau minta uang lagi, ya ?"

"Ah, enggak. Pengen tahu aja" ucap Rana singkat."Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Papa bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp. 400.000,-. Setiap bulan rata-rata dihitung 22 hari kerja.Sabtu dan Minggu libur, kadang Sabtu Papa masih lembur. Jadi, gaji Papa dalam satu bulan berapa, hayo ?"

Rana berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar sementara Papanya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Arya beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Rana berlari mengikutinya. "Kalo satu hari Papa dibayar Rp. 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam Papa digaji Rp.40.000,- dong" katanya.

"Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, tidur" perintah Arya

Tetapi Rana tidak beranjak. Sambil menyaksikan Papanya berganti pakaian,Rana kembali bertanya, "Papa, aku boleh pinjam uang Rp. 5.000,- enggak ?" "Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini? Papa capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah"."Tapi Papa..."

Kesabaran Arya pun habis. "Papa bilang tidur !" hardiknya mengejutkan Rana.Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya.

Usai mandi, Arya nampak menyesali hardiknya. Ia pun menengok Rana di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Rana didapati sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp. 15.000,- di tangannya.Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Arya berkata "Maafkan Papa, Nak, Papa sayang sama Rana. Tapi buat apa sih minta uang malam-malam begini ? "

"Kalau mau beli mainan, besok kan bisa. Jangankan Rp. 5.000,- lebih dari itu pun Papa kasih" jawab Arya "Papa, aku enggak minta uang. Aku hanya pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini".

"lya, iya, tapi buat apa ?" tanya Arya lembut.

"Aku menunggu Papa dari jam 8. Aku mau ajak Papa main ular tangga. Tiga puluh menit aja. Mama sering bilang kalo waktu Papa itu sangat berharga. Jadi, aku mau ganti waktu Papa. Aku buka tabunganku, hanya ada Rp. 15.000,- tapi karena Papa bilang satu jam Papa dibayar Rp. 40.000,- maka setengah jam aku harus ganti Rp. 20.000,-. Tapi duit tabunganku kurang Rp.5.000, makanya aku mau pinjam dari Papa" kata Rana polos.

Arya pun terdiam. ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat dengan perasaan haru. Dia baru menyadari, ternyata limpahan harta yang dia berikan selama ini, tidak cukup untuk "MEMBELI" kebahagiaan anaknya.

Thursday 1 April 2010

Aku Punya Cerita

Cerita dimulai ketika pagi ini aku sarapan "hanya" dengan sebuah telur dadar pucat pasi tanpa cabai dengan sedikit garam. Enak atau tidaknya bukan masalah, yang penting adalah pagi ini perutku tidak lagi meneriakkan sumpah serapahnya. Setiap tahapan untuk menjadi telur dadar sejati yang diakui secara Internasional, kukerjakan sendiri.

Nasi ditambah telur dadar pucat pasi tidak terlalu buruk untuk seorang rookie di dunia rantau-merantaun. Memang, keinginan untuk melanjutkan hidup dan merajut masa depan memaksa kebanyakan orang untuk meninggalkan rumah, kampung, halaman, keluarga. kisah tragis itu ternyata berlaku juga untukku.

Nasi beserta telur dadar pucat pasi siap disantap, seperti biasa aku mengernyitkan dahi mengukur kesimetrisan telur ini dan membandingkannya dengan banyaknya tumpukan nasi. Hal ini kulakukan agar terjadi keadilan bagi semua makhluk sampai akhirnya kutemukan bahwa 12 potongan simetris telur dadar ini akan cukup untuk menghabiskan sepiring nasiku. Untuk dicatat bahwa pekerjaan ini hanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki rasa keadilan yang luar biasa. Sangat cocok dijadikan pemimpin Sumatera Barat selanjutnya. Karena itu contrenglah nomor 20 pada kertas suara anda pada Pemilihan Cagub dan Cawagub nanti. ^_^

Berikut ini kupaparkan beberapa suapan tersebut:
Suapan pertama dimulai dengan Basmallah. Kunyahan demi Kunyahan pun juga dimulai, luar biasa, ternyata rasanya memang benar-benar seperti yang diduga, tawar, hambar, benar-benar hampa. Aku menikmatinya hingga aku teringat sebuah episode, scene ini tervisualisasi jelas di otakku. Seorang ayah, ibu dan 2 orang anak laki-lakinya. Sang Ayah baru saja gajian. Pulang dengan wajah berseri mengenggam sebuah bungkusan. Setekah dibuka ternyata isinya adalah subungkus nasi beserta lauknya yang dahsyat lezatnya. Nasi dibuka, dibagi menjadi 2 bagian dan setiap bagian ditambah lagi dengan nasi putih yang baru matang, dimasak ibu. Ini dilakukan agar nasi bungkus nya cukup untuk semua orang.

Aku melanjutkan suapan nasi+telur dadar pucat pasi ku, suapan ini membawaku ke episode selanjutnya saat 2 bocah ini memiliki seorang adik yang lucu bukan main. Si anak tengah saat itu telah menjadi anak yang super lincah, hobinya bermain dan belajar. belajar tentu saja bukan prioritas, bermainlah yang utama. Si anak tengah memiliki sedikit kenakalan dimana dia suka sekali bermain hingga sore hari. Suatu hari dia bersama membawa adik kecilnya ke rumah seoarang teman untuk bermain "monopoli". Di saat yang sama sang Ayah mencari mereka berdua kemana-mana. hari itu adalah jadwal rutin mereka untuk pulang ke desa mereka. Si tengah di amanahi untuk menjaga adiknya serta tetap tinggal di rumah hingga sang Ayah pulang dan menjemput mereka berdua. Singkatnya, saat sore hari mereka pulang dengan ceria, mereka kaget menemukan bahwa sang Ayah telah pulang, mereka menemukan sebilah bambu di atas meja. Si bungsu bertanya,"wahai Kakanda yang budiman, untuk apakah bambu ini gerangan?". "Kakanda tidak mengetahuinya wahai Adinda, mungkin saja untuk memukuli kita berdua". Tebakan sang kakak tepat, sang Ayah murka, memukul mereka dan mengurung mereka di kamar sebagai hukuman.

Baru saja aku menelan sebuah suapan lagi, rasanya mulai berubah asin, garamnya ternyata tidak teraduk sempurna. Aku mengambil minuman, tegukan demi tegukanku beralih menjadi tegukan demi tegukan si anak Tengah. Matahari bersinar terik hari itu, hari Minggu. Si Sulung, si Tengah, si Bungsu bersama Ayah, Ibu, dan Nenek nya pergi ke ladang hari itu. Itulah kebiasaan keluarga ini setiap minggunya, sabtu pulang ke desa dan minggu nya ke ladang. Mereka bersiap-siap pualng saat sang Ayah mengambil sebuah kayu rapuh dimakan usia, membaginya menjadi 3 tidak sama besar dan menyerahkannya ke ketiga anaknya. Kayu ini harus mereka pikul sebagai beban agar nanti bisa digunakan untuk pengapian tungku. Si Sulung mendapatkan kayu yang cukup besar, dengan tubuh yang besar pula tentu dia mampu memikulnya. Si Tengah kebagian kayu yang besar, walaupun tidak sebesar yang didapatkan si Sulung. Si Bungsu yang masih kecil cuma kebagian ranting. Hidup memang adil bukan. Mereka pulang dengan membawa hasil panen ladang. Sore teduh itupun mengiringi kepulangan keluarga ini.

Suapan terakhir telah kuselesaikan. Aku yakin cacing diperutku tidak akan menggeliat lagi setelah aku timpuk dengan bundelan-bundelan nasi. Alhamdulillah.
Aku tersenyum, sepenggal kisah masa kecilku sangat indah. Walaupun kami hidup dalam keterbatasan, kesederhanaan bahkan kekurangan.
Pukulan-pukulan Ayah, nasehat-nasehat Ibu telah mendewasakan kami, membentuk 3 anak yang kuat dan berbakti Insya Allah.
Kuakhiri Cerita ini

Kamis, 1 April 2010 pukul 08.43 WIB
Dinaungi sejuknya udara pagi dalam kamar tempatku menata hidup


kisah ini kudedikasikan untuk ayah ku tercinta yang tepat hari ini berulang tahun, happy birthday dad, aku tahu engkau telah letih mendidikku yang sangat nakal ini. well, aku sekarang begini itu semua karena ayah. i love you dad.

ps: for my brother, home soon brother, we all miss u