Friday 10 May 2013

Nasi Kotak Milik Ibu


Hari ini kampusku – sebuah kampus diploma keuangan di bilangan Tangerang Selatan – mengadakan seminar mengenai perpajakan. Seminar kali ini membahas serba-serbi anggapan masyarakat mengenai pajak. Acara berlangsung sehari penuh sehingga aku dan peserta lainnya dibekali makan siang oleh panitia. Saat acara selesai, setiap yang hadir diserahkan masing-masing sebuah kotak berisi makan siang. Aku pulang dengan wajah sumringah. Walaupun belum akan menikmati nasi beserta lauk yang telah dibungkus rapi ini hingga magrib, setidaknya aku tau bahwa buka puasaku hari ini akan nikmat.

Magrib menjelang, selesai menunaikan kewajiban shalat mataku langsung tertuju pada kotak karton yang kuterima siang tadi. Sebuah kotak karton yang tidak terlalu besar yang penutupnya tercetak nama restoran prasmanan asal tanah sunda. Aku buka kotak tersebut perlahan. Aroma semerbak tak lagi mengepul keluar. Barangkali karena sudah terlalu lama dibiarkan dan telah dingin sehingga apapun yang ada didalamnya tidak lagi beraroma.

Kuciumi bau lauk beserta nasinya yang berada dalamnya. Yakin belum basi, aku mulai melahap satu-persatu isi nasi kotak itu. Nasi putih, ayam bakar, tahu goreng, singkong rebus, dan timun. Sesuap demi sesuap ku lahap semua makanan yang ada di dalam kotak karton itu hingga tak tersisa sedikitpun. Aku kombinasikan pula lauk-lauknya di setiap suapan agar kutemukan citarasa luar biasa di lidah. Aku benar-benar kelaparan hari ini. Aku belum makan apapun seharian.

Nasi kotak memang selalu menggoda seleraku. Ini tak lepas dari kejadian di masa kecilku yang selalu kuingat hingga hari ini. Saat ibu pulang dengan nasi kotak di tangannya. Ibuku adalah seorang guru di Sekolah Dasar Negeri di desa Gantiang, sebuah desa yang berjarak tempuh satu jam dari rumah. Karena jarak yang cukup jauh serta moda transportasi yang  sulit di desa, ibu selalu berangkat pagi-pagi sekali. Biasanya saat aku telah berseragam putih merah lengkap, ibu telah meninggalkan rumah.

Seringkali ibu belum berangkat ketika aku pergi ke sekolah. Jika hari itu tiba, aku segera tahu bahwa ibu akan menghadiri pelatihan atau lokakarya di kecamatan. Jarak kecamatan tidak jauh dari rumah sehingga ibu tidak perlu repot berangkat terlalu dini. Hari itupun menjadi hari yang membahagiakan bagiku. Karena setiap kali mengikuti kegiatan tersebut, ibu akan pulang membawa buah tangan yaitu bermacam-macam makanan ringan yang ibu dapatkan disana.  Saat itu, saat ekonomi keluargaku masih sulit, makanan semacam itu adalah barang langka yang tidak kudapatkan setiap hari. Sepertinya ibu sangat tahu akan hal itu. Itulah kenapa sepulang dari pelatihan ataupun lokakarya, ibu tak alpa menyimpan snacknya dan membawanya pulang untuk kami, untukku serta untuk adik dan abangku.

Jika ibu pulang dari seminar lebih sore, biasanya ibu membawa nasi kotak, ya, sebuah nasi kotak. Nasi kotak inilah yang selalu kami tunggu-tunggu. Bertiga, kami saling berbagi. Tidak banyak memang yang kami dapatkan setelah dibagi tiga, tetapi entah kenapa nasi kotak yang ibu bawa selalu cukup dan yang paling penting selalu nikmat. Entah karena pengusaha kateringnya memang ahli memasak ataukah karena pengorbanan ibu menahan lapar agar anak-anaknya dapat menikmati nasi kotak yang penuh gizi ini yang membuat rasanya menjadi lebih lezat. Aku tak tahu, aku tidak peduli saat itu.

Sepuluh tahun berlalu sudah. Malam ini aku menikmati nasi kotakku sendiri. Rasa lapar yang sangat sebelumnya telah berganti dengan rasa kenyang. Sejenak aku berpikir dan kemudian aku tersadar. Aku tersadar bahwa apa yang ibu lakukan dulu adalah bentuk pengorbanannya, wujud rasa cintanya pada kami. Bahwa rasa lapar yang kurasakan sejak tadi, itu pulalah yang ibu rasakan saat ibu memutuskan menyimpan nasi kotaknya demi anak-anaknya. “Wahai ibu, tak pernahkah kau dahulukan dirimu barang sekalipun”, lirihku. Bulir-bulir airmataku mulai menetes. Sepuluh tahun, butuh waktu sepuluh tahun bagiku untuk menyadari  besarnya pengorbanan dan cinta ibu dalam nasi kotak kecil itu.

Sekarang aku disini, di semester terakhir sekolah kedinasan ini. Di depanku tempampang masa depan yang menjanjikan. Lagi, jika tanpa doa ibu semua ini mimpi belaka. Semoga apa yang telah kuraih saat ini kalaupun tidak akan mengembalikan tenaga ibu yang terbuang akibat membesarkanku, atau mengembalikan rambut hitam ibu yang semakin hari makin memutih karena memikirkan tingkahku, atau mengembalikan tangan halus ibu yang telah kasar karena bekerja siang dan malam, setidaknya aku harap semua ini bisa menjadi pengelap keringat ibu, walau hanya setetes.

Ya Rabb, masukkan ibu ke dalam surga-Nya, tempat orang-orang mulia seperti ibu diberi karma. Pinta disetiap akhir sujudku. Kuakhiri kisah ini.


Jurangmangu, 13 Jumadil Akhir
Dibawah naungan purnama, di dalan kamar tempatku menyusun hari tua.

Friday 15 March 2013

Diatas Sajadah Cinta


KOTA KUFAH terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk. Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota Kufah masih terasa.
Di serambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegap menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teguh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang-orang memanggilnya “Zahid” atau “Si Ahli Zuhud”, karena kezuhudannya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan paling mencintai masjid di kota Kufah pada masanya. Sebagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota Kufah. Saat itu masjid adalah pusat peradaban, pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat perhatian.
Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada ayat-ayat azab, tubuh pemuda itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyala-nyala dihadapannya. Namun jika ia sampai pada ayat-ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari langit terasa bagai mengguyur sekujur tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai mencium aroma wangi para bidadari yang suci.
Tatkala sampai pada surat Asy Syams, ia menangis,
fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha.
qad aflaha man zakkaaha.
wa qad khaaba man dassaaha
…”
(maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaan,
sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya
…)
Hatinya bertanya-tanya. Apakah dia termasuk golongan yang mensucikan jiwanya. Ataukah golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk golongan yang beruntung, ataukah yang merugi?
Ayat itu ia ulang berkali-kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya berguncang. Akhirnya ia pingsan.

***

Sementara itu, di pinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu-lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun kurma yang luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya.
Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari-nari riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera yang menerangi ruangan itu. Kecantikannya sungguh memesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair-syair cinta,
in kuntu ‘asyiqatul lail fa ka’si
musyriqun bi dhau’
wal hubb al wariq
…”
(jika aku pencinta malam maka
gelasku memancarkan cahaya
dan cinta yang mekar
…)

***

Gadis itu terus menari-nari dengan riangnya. Hatinya berbunga-bunga. Di ruangan tengah, kedua orangtuanya menyungging senyum mendengar syair yang didendangkan putrinya. Sang ibu berkata, “Abu Afirah, putri kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik-baik syair-syair yang ia dendangkan.”
“Ya, itu syair-syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan tadi siang di pasar aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah untuk putranya, Yasir.”
“Bagaimana, kau terima atau…?”
“Ya jelas langsung aku terima. Dia ‘kan masih kerabat sendiri dan kita banyak berhutang budi padanya. Dialah yang dulu menolong kita waktu kesusahan. Di samping itu Yasir itu gagah dan tampan.”
“Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu?”
“Tak perlu! Kita tidak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir. Pemuda yang paling cocok untuk Afirah adalah Yasir.”
“Tapi, engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.”
“Ah, itu gampang. Nanti jika sudah beristri Afirah, dia pasti juga akan tobat! Yang penting dia kaya raya.”

***

Pada saat yang sama, di sebuah tenda mewah, tak jauh dari pasar Kufah. Seorang pemuda tampan dikelilingi oleh teman-temannya. Tak jauh darinya seorang penari melenggak lenggokan tubuhnya diiringi suara gendang dan seruling.
“Ayo bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!” bisik temannya.
“Be…benarkah?”
“Benar. Ayo cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia-siakan kesempatan ini, Yasir!”
“Baiklah. Bersenang-senang dengannya memang impianku.”
Yasir lalu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang penari mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu menari-nari diiringi irama seruling dan gendang. Keduanya benar-benar hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu ketelinga Yasir,
“Apakah Anda punya waktu malam ini bersamaku?”
Yasir tersenyum dan menganggukan kepalanya. Keduanya terus menari dan menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengking-lengking. Aroma arak menyengat nurani. Hati dan pikiran jadi mati.

***
Keesokan harinya.
Usai shalat dhuha, Zahid meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota. Ia hendak menjenguk saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayat-ayat suci Al-Quran. Ia sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan apel buat saudaranya yang sakit.
Zahid berjalan melewati kebun kurma yang luas. Saudaranya pernah bercerita bahwa kebun itu milik saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki jalan yang membelah kebun kurma itu. Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalandan titik hitam itu semakin membesar dan mendekat. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu menjadi seorang sedang menunggang kuda. Lalu sayup-sayup telinganya menangkap suara,
“Toloong! Toloong!!”
Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya. Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas.
“Toloong! Toloong!!”
Suara itu semakin jelas terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya dengan jelas bisa menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang.
“Toloong! Toloong hentikan kudaku ini! Ia tidak bisa dikendalikan!”
Mendengar itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu semakin dekat dan tinggal beberapa belas meter di depannya. Cepat-cepat ia menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat tangan kanannya dan berkata keras,
“Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!”
Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan berhenti seketika. Perempuan yang ada dipunggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Zahid mendekati perempuan itu dan menyapanya,
Assalamu’alaiki. Kau tidak apa-apa?”
Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan,
Alhamdulillah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkilir saat jatuh.”
“Syukurlah kalau begitu.”
Dua mata bening di balik cadar itu terus memandangi wajah tampan Zahid. Menyadari hal itu Zahid menundukkan pandangannya ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan memesona,
“Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari mana dan mau ke mana Tuan?”
Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih memesona. Hatinya bergetar hebat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya ia menatap wajah gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona, Zahid tersadar, ia cepat-cepat menundukkan kepalanya. “Innalillah. Astagfirullah,” gemuruh hatinya.
“Namaku Zahid, aku dari masjid mau mengunjungi saudaraku yang sakit.”
“Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya cuma di dalam masjid?”
“Tak tahulah. Itu mungkin Zahid yang lain.” kata Zahid sambil membalikkan badan. Ia lalu melangkah.
“Tunggu dulu Tuan Zahid! Kenapa tergesa-gesa? Kau mau kemana? Perbincangan kita belum selesai!”
“Aku mau melanjutkan perjalananku!”
Tiba-tiba gadis itu berlari dan berdiri di hadapan Zahid. Terang saja Zahid gelagapan. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depannya. Seumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.
“Tuan aku hanya mau bilang, namaku Afirah. Kebun ini milik ayahku. Dan rumahku ada di sebelah selatan kebun ini. Jika kau mau silakan datang ke rumahku. Ayah pasti akan senang dengan kehadiranmu. Dan sebagai ucapan terima kasih aku mau menghadiahkan ini.”
Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau muda.
“Tidak usah.”
“Terimalah, tidak apa-apa! Kalau tidak Tuan terima, aku tidak akan memberi jalan!”
Terpaksa Zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil menutup kembali mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua kakinya melanjutkan perjalanan.

***

Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah kembali diterangi sinar rembulan. Angin sejuk dari utara semilir mengalir.
Afirah terpekur di kamarnya. Matanya berkaca-kaca. Hatinya basah. Pikirannya bingung. Apa yang menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di kebun kurma hatinya terasa gundah. Wajah bersih Zahid bagai tak hilang dari pelupuk matanya. Pandangan matanya yang teduh menunduk membuat hatinya sedemikian terpikat. Pembicaraan orang-orang tentang kesalehan seorang pemuda di tengah kota bernama Zahid semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap wajahnya dan mendengarkan tutur suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya. Tiba-tiba air matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata,
“Inikah cinta? Beginikah rasanya? Terasa hangat mengaliri syaraf. Juga terasa sejuk di dalam hati. Ya Rabbi, tak aku pungkiri aku jatuh hati pada hamba-Mu yang bernama Zahid. Dan inilah untuk pertama kalinya aku terpesona pada seorang pemuda. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya Rabbi, izinkanlah aku mencintainya.”
Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang ia berikan pada Zahid. Tiba-tiba ia tersenyum,
“Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari ia akan datang kemari.”
Hatinya berbunga-bunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata teduh itu hadir di pelupuk matanya.

***
Sementara itu di dalam masjid Kufah tampak Zahid yang sedang menangis di sebelah kanan mimbar. Ia menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya dalam shalat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak ia bertemu dengan Afirah di kebun kurma tadi pagi ia tidak bisa mengendalikan gelora hatinya. Aura kecantikan Afirah bercokol dan mengakar sedemikian kuat dalam relung-relung hatinya. Aura itu selalu melintas dalam shalat, baca Al-Quran dan dalam apa saja yang ia kerjakan. Ia telah mencoba berulang kali menepis jauh-jauh aura pesona Afirah dengan melakukan shalat sekhusyu’-khusyu’-nya namun usaha itu sia-sia.
“Ilahi, kasihanilah hamba-Mu yang lemah ini. Engkau Mahatahu atas apa yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cinta-Mu. Namun Engkau juga tahu, hatiku ini tak mampu mengusir pesona kecantikan seorang makhluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan suaranya Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk meletakkan embun-embun cinta yang menetes-netes dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada garis takdir yang paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup matiku untuk-Mu.” Isak Zahid mengharu biru pada Tuhan Sang Pencipta hati, cinta, dan segala keindahan semesta.
Zahid terus meratap dan mengiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta terus ia paksa untuk menepis noda-noda nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embun-embun cinta itu semakin deras mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan azab-Nya. Rasa cinta dan rindu-Nya pada Afirah. Dan rasa tidak ingin kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat dalam relung hatinya. Dalam puncak munajatnya ia pingsan.
Menjelang subuh, ia terbangun. Ia tersentak kaget. Ia belom shalat tahajjud. Beberapa orang tampak tengah asyik beribadah bercengkerama dengan Tuhannya. Ia menangis, ia menyesal. Biasanya ia sudah membaca dua juz dalam shalatnya.
“Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di surga dengan bidadari dunia. Ilahi, hamba lemah maka berilah kekuatan!”
Ia lalu bangkit, wudhu, dan shalat tahajjud. Di dalam sujudnya ia berdoa,
“Ilahi, hamba mohon ridha-Mu dan surga. Amin. Ilahi lindungi hamba dari murkamu dan neraka. Amin. Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa cinta hamba pada Afirah pada-Mu, hamba terlalu lemah untuk menanggung-Nya. Amin. Ilahi, hamba memohon ampunan-Mu, rahmat-Mu, cinta-Mu, dan ridha-Mu. Amin.”

***

Pagi hari, usai shalat dhuha Zahid berjalan ke arah pinggir kota. Tujuannya jelas yaitu melamar Afirah. Hatinya mantap untuk melamarnya. Di sana ia disambut dengan baik oleh kedua orangtua Afirah. Mereka sangat senang dengan kunjungan Zahid yang sudah terkenal ketakwaannya di seantero penjuru kota. Afiah keluar sekejab untuk membawa minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia mendengarkan dengan seksama pembicaraan Zahid dengan ayahnya. Zahid mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu melamar Afirah.
Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah menanti dengan seksama jawaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Zahid menundukkan kepala ia pasrah dengan jawaban yang akan diterimanya. Lalu terdengarlah jawaban ayah Afirah,
“Anakku Zahid, kau datang terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar Abu Yasir untuk putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.”
Zahid hanya mampu menganggukan kepala. Ia sudah mengerti dengan baik apa yang didengarnya. Ia tidak bisa menyembunyikan irisan kepedihan hatinya. Ia mohon diri dengan mata berkaca-kaca. Sementara Afirah, lebih tragis keadaannya. Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.

***

Zahid kembali ke masjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketakwaan Zahid ternyata tidak mampu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia dengar dari ayah Afirah membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas. Berkali-kali ia pingsan. Ketika keadaannya kritis seorang jamaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia sering mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istigfhar dan … Afirah.
Kabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar ke seantero kota Kufah. Angin pun meniupkan kabar ini ke telinga Afirah. Rasa cinta Afirah yang tak kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek,



Kepada Zahid,

Assalamu’alaikum

Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Rasa cinta itulah yang membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku dalam mimpi dan sadarmu. Tak bisa kuingkari, aku pun mengalami hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku selama-lamanya.
Zahid,
Kalau kau mau. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa haus kita berdua. Pertama, aku akan datang ke tempatmu dan kita bisa memadu cinta. Atau kau datanglah ke kamarku, akan aku tunjukkan jalan dan waktunya.

Wassalam
Afirah

===============================================================

Surat itu ia titipkan pada seorang pembantu setianya yang bisa dipercaya. Ia berpesan agar surat itu langsung sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada orang ketiga yang membacanya. Dan meminta jawaban Zahid saat itu juga.
Hari itu juga surat Afirah sampai ke tangan Zahid. Dengan hati berbunga-bunga Zahid menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristighfar sebanyak-banyaknya. Dengan berlinang air mata ia menulis untuk Afirah :



Kepada Afirah,

Salamullahi’alaiki,

Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah semata-mata karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku menginginkan sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah ‘Azza Wa Jalla’. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang sama. Bukan sebuah cinta yang menyeret kepada kenistaan dosa dan murka-Nya.
Afirah,
Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati kehausan jiwa ini dengan secangkir air cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka. Afirah, “Inni akhaafu in ‘ashaitu Rabbi adzaaba yaumin ‘adhim!” ( Sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar jika aku durhaka pada Rabb-ku. Az Zumar : 13 )
Afirah,
Jika kita terus bertakwa. Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang bisa aku lakukan saat ini kecuali menangis pada-Nya. Tidak mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya :
“Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (yaitu surga).”
Karena aku ingin mendapatkan seorang bidadari yang suci dan baik maka aku akan berusaha kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allahlah yang menentukan.
Afirah,
Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.

Wassalam,
Zahid

===============================================================

Begitu membaca jawaban Zahid itu Afirah menangis. Ia menangis bukan karena kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang sangat berharga, yaitu hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda saleh bernama Zahid itu telah mengubah jalan hidupnya.
Sejak itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamor. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Sorban putih pemberian Zahid ia jadikan sajadah, tempat dimana ia bersujud, dan menangis di tengah malam memohon ampunan dan rahmat Allah SWT. Siang ia puasa malam ia habiskan dengan bermunajat pada Tuhannya. Di atas sajadah putih ia menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, yaitu cinta kepada Allah SWT. Hal yang sama juga dilakukan Zahid di masjid Kufah. Keduanya benar-benar larut dalam samudera cinta kepada Allah SWT.
Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulan kemudian Zahid menerima sepucuk surat dari Afirah :



Kepada Zahid,

Assalamu’alaikum,

Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar hamba-Nya yang bertakwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasululullah SAW. Secepatnya.

Wassalam,
Afirah



===============================================================
Seketika itu Zahid sujud syukur di mihrab masjid Kufah. Bunga-bunga cinta bermekaran dalam hatinya. Tiada henti bibirnya mengucapkan hamdalah.





Diambil dari buku dengan judul yang sama karya Habiburrahman El Shirazy.

Thursday 14 March 2013

27 Dampak Zina di Dunia

Bukan main banyaknya dampak zina. Bukan saja berdampak di dunia, namun juga di akhirat nantinya pada seseorang yang melakukannya dan belum bertaubat.

Bukan saja fisik, namun bisa berdampak ke psikologi orang yang melakukannya.
  1. Bisa Mengurangi agama dan kadar keimanan seseorang.
  2. Menghilangkan sifat wara’.
  3. Merusak kehormatan dan harga diri.
  4. Mengurangi sifat cemburu.
  5. Mendapatkan murka Allah.
  6. Menghitamkan raut wajah hingga menjadikannya nampak gelap.
  7. Menggelapkan hati dan menghilangkan cahayanya.
  8. Mengakibatkan kefakiran yang terus menerus.
  9. Menghilangkan kesucian pelakunya dan menjatuh nilainya dihadapan Allah SWT dan manusia.
  10. Mencopot sifat dan julukan terpuji seperti ‘iffah, baik, adil, amanah dari pelakunya serta menyematkan sifat cela seperti fajir, pengkhianat, fasik dan pezina.
  11. Menceburkan diri sendiri pada adzab di sebuah tungku api neraka.
  12. Menghilangkan nama baik.
  13. Allah SWT memberikan kegelisahan hati buat para pezina.
  14. Menghilangkan kewibawaan. Wibawanya akan di cabut dari hati keluarga, teman-temannya dan yang lain.
  15. Manusia memandangnya sebagai pengkhianat, dan tak ada seorangpun yg bisa mempercayainya.
  16. Allah SWT memberi rasa sumpek dan susah di hati pezina.
  17. Menghilangkan kesempatan untuk mendapatkan kenikmatan bersama bidadari di surga.
  18. Perbuatan zina mendorong pelakunya berani durhaka pada orang tua, memutus kekerabatan, bisnis haram, menzhalimi orang lain dan menelantarkan keluarga.
  19. Dikelilingi perbuatan maksiat lain.
  20. Terkena sanksi dunia menurut hukum syariat.
  21. Merusak nasab (garis keturunan).
  22. Menghancurkan kehormatan dan harga diri.
  23. Menyebabkan tersebarnya penyakit berbahaya.
  24. Membuka peluang keluarganya untuk terjerumus dalam perbuatan serupa.
  25. Menyebabkan hilangnya amalan shalih sehingga ia bangkrut pada hari kiamat.
  26. Dihadapkan pada orang yang istrinya dizinai utk diambil pahala kebaikannya sesukanya sehingga tidak tersisa kebaikan sedikitpun.
  27. Anggota tubuh seperti tangan, kaki, kulit, telinga, mata dan lisan akan memberi persaksian yeng menyakitkan.

Saturday 2 March 2013

Pesan untuk Ayah dan Bunda


Anakmu suka berdusta ; anda terlalu ketat mengevaluasi perbuatannya.

Anakmu tidak punya rasa percaya diri ; anda tidak memberikan dorongan kepadanya.

Anakmu lemah dalam bicara ; anda jarang mengajaknya berdialog.

Anakmu mencuri ; anda tidak membiasakannya untuk memberi dan berkorban.

Anakmu pengecut ; anda terlalu memberikan pembelaan kepadanya.

Anakmu tidak menghormati orang lain ; anda tidak bicara dengan kelembutan kepadanya.

Anakmu selalu marah-marah ; anda tidak memberikan pujian kepadanya.

Anakmu pelit ; anda tidak menyertakannya dalam berbuat.

Anakmu suka jahat kepada orang lain ; anda kasar kepadanya.

Anakmu lemah ; anda menggunakan ancaman dalam mendidiknya.

Anakmu cemburu ; anda mencuekkannya.

Anakmu mengganggumu ; anda tidak mencium atau mendekapnya.

Anakmu tidak mau patuh kepadamu ; anda terlalu banyak permintaan.

Anakmu cemberut ; anda sibuk terus.

Anakmu adalah amanah yang harus dirawat dan dididik dengan baik.

(DR. Thariq al Habib)

Sikap dalam Memperlakukan Anak


Dikutip dari tulisan DR. Du'a ar Rawy:

Duduklah di samping anakmu sebelum ia tidur beberapa menit. Sampaikan kepadanya bahwa anda mencintainya. Peluklah ia. Timbulkan di benaknya pikiran-pikiran positif yang bisa dilakukan besok hari. Supaya ia tidur dalam kondisi mempunyai harapan-harapan positif dan bangun dalam keadaan semangat. Serta jangan lupa mengingatkannya untuk membaca do'a dan zikir sebelum tidur.

Sebelum anda membangunkan anak-anakmu duduklah di sampingnya kira-kira 3 menit. Bacakan lah ayat kursi, qul 'audzubirabbil falaq dan qul 'adzubirabbinnas dengan suara lembut. Kemudian bangunkan mereka dengan tenang. Perbanyak membaca tasbih, ganti dari pada teriak-teriak :)

Jangan izinkan anakmu untuk menonton TV atau komputer langsung setelah bangun...karena kondisi mata belum siap untuk melihat cahaya yang keras ketika baru bangun, dan itu bisa membawa dampak negatif terhadap kesehatan penglihatannya.

Berilah anakmu pijitan ringan sebelum tidur, itu bisa mendatangkan kenyamanan dan juga bisa membantu pencernaan dan memperbaiki kebiasaan tidurnya. Hal itu juga bisa menumbuhkan perasaan dekat antara ibu dan anak. Jangan sampai ia tidak mendapatkan sentuhan lembutmu itu...

Anak akan mempunyai akhlak yang mulia dan tingkah laku yang terpuji serta terdidik, dampak dari sikap saling menghormati antara suami-istri, dan sebaliknya juga bisa terjadi.

Beri kesempatan kepada anakmu untuk tidur bersama ibu dan ayahnya satu kali dalam seminggu atau pada hari libur. Ini akan memperdalam hubungan rasa kebersamaan dengan mereka. Juga sekaligus akan menghilangkan kecurigaan yang banyak antara hubungan ibu dengan ayah.

Perbanyaklah mempergunakan ungkapan-ungkapan berikut kepada anakmu: "Aku betul-betul bangga denganmu. Kamu hebat ya. Apa pendapatmu tentang hal ini? Ada yang perlu ibu/ayah bantu?"

Mengadakan dialog yang memuaskan dengan segera ketika muncul sikap menentang dari anak merupakan solusi yang paling tepat. Karena mengundurkan dialog pada waktu yang lain akan menimbulkan rasa pada anak bahwa ia sudah memenangkan pertarungan dengan cara yang tidak benar.

Mintalah anakmu berhenti menangis sebelum memenuhi keinginannya, supaya ia tidak terbiasa menangis untuk memaksakan apa yang ia inginkan.

Perbanyaklah mengucapkan kata-kata yang akan menimbulkan kecintaannya kepada Allah. Seperti "Allah lah yang telah memberi kita rezki. Allah Maha Pengasih dan Penyayang kepada hamba-Nya yang shaleh". Bila ia sudah tumbuh dalam keadaan cinta kepada Allah, ia akan takut berbuat maksiat. Ia akan mempunyai sikap yang berbeda di antara teman-temannya.

Ya Allah, Tuhan yang telah memelihara Musa di waktu ia dihanyutkan ke sungai, peliharalah anak-anak kami dari tenggelam ke dalam fitnahan kehidupan dan kesenangannya. Limpahkanlah rezki-Mu kepada anak-anak kami dan jadikanlah mereka anak-anak yang shaleh yang berbakti.

Monday 25 February 2013

Menahan Marah dan Memaafkan

Sepasang suami-istri yang sudah melalui masa berumah tangga selama 60 tahun. Mereka berdua hidup bahagia dengan saling terbuka dan peduli serta saling melayani. Tapi ada satu hal yang tetap berada pada posisi didiamkan.

Sebenarnya tidak ada rahasia antara mereka berdua, kecuali istrinya menyimpan sebuah kotak di atas rak, dan ia sering mewanti-wanti suaminya supaya jangan membuka kotak itu atau sekedar bertanya apa yang tersimpan di dalamnya. Karena sang suami sangat menghargai segala keinginan istrinya maka ia tidak mempedulikan perihal kotak itu......

Sampai pada suatu ketika, istrinya ditimpa penyakit, dan dokter menjatuhkan vonis bahwa ia tidak akan bisa bertahan hidup lebih lama lagi...

Setelah beberapa hari, pandangan suaminya tertumpu ke kotak itu. Ia mengambilnya dan membawanya kepada istrinya yang lagi terbaring sakit di atas ranjang. Saat ia melihat kotak itu istrinya tersenyum dalam kesedihan....

Ia berkata kepada suaminya: "Tidak apa-apa....kamu boleh membuka kotak itu sekarang.....

Suaminya langsung membuka kotak itu. Ia menemukan dua buah sulaman dari benang dan sebuah jarum untuk menyulam, dan di bawahnya terdapat uang sebanyak 75 ribu dollar. Lalu ia menanyak tentang itu semua.

Istrinya menjawab dengan suara mendesah: "Ketika aku menikah denganmu, nenekku mengajariku bahwa rahasia kesuksesan hidup berumah tangga adalah dengan menahan kemarahan, kekesalan dan menghindari perdebatan suami-istri...

Lalu beliau menasehatiku supaya bila aku marah atau kesal kepadamu aku harus menyembunyikan rasa marah itu dan melampiaskannya dengan membuat sulaman dengan menggunakan jarum..

Waktu itu hampir saja air mata suaminya berlinangan keluar.....Cuma ada dua sulaman? Artinya kau tidak pernah marah kepadaku selama 60 tahun kecuali dua kali saja???

Sekalipun dipenuhi rasa sedih karena akan berpisah dengan istrinya, ia tetap merasa bahagia, karena ia paham bahwa istrinya tidak pernah marah kepadanya kecuali dua kali.

Setelah itu ia melanjutkan pertanyaan: Baik, aku sekarang sudah tahu rahasia dua sulaman ini, lalu uang 75 ribu dollar?

Istrinya menjawab: "Ini adalah uang yang dikumpulkan dari hasil penjualan sulaman".

Alangkah mulianya orang yang merasakan kepedihan tapi ia tidak bicara. Betapa besar jiwa orang yang marah tapi mampu memendamnya.

Di antara sifat orang bertaqwa yang akan menempati surga sebagaimana disebutkan Allah dalam surat Ali Imran 133-136 adalah orang yang mampu menahan rasa marah dan memaafkan kesalahan orang lain.

Semoga Allah menuntun kita untuk selalu mampu memperbaiki akhlak sampai kita betul-betul menjadi orang yang diliputi akhlak mulia.

Sunday 24 February 2013

Seni Berkomunikasi dengan Anak

Jangan katakan kepada anakmu: "Jangan mencoret-coret dinding".
Tapi katakan: "Buatlah gambar di kertas, kalau sudah selesai nanti kita gantungkan di dinding, atau di kulkas atau di papan tulis".

Jangan katakan kepada anakmu: "Shalatlah, kalau kamu tidak mau nanti masuk neraka".
Tapi katakanlah: "Mari kita shalat sama-sama supaya nanti kita masuk surga bersama".

Jangan katakan kepada anakmu: "Rapikan kamarmu yang kayak kapal pecah itu".
Tapi katakanlah: "Apakah kamu perlu bantuan untuk merapikan kamar, karena kamu selalu suka kebersihan dan kerapiankan?".

Jangan katakan kepada anakmu: "Ayo segera belajar, jangan main lagi. Belajar lebih penting dari pada main". Tapi katakanlah: "Kalau kamu menyelesaikan tugas belajar lebih cepat aku akan menemanimu bermain atau melakukan apa saja yang kamu sukai".

Jangan katakan kepada anakmu: "Ayo cepat bersihkan gigimu. Apa mesti setiap saat aku harus ngomong sama kamu?"
 Tapi katakanlah: "Aku senang sama kamu, karena kamu selalu membersihkan gigi tanpa harus disuruh-suruh".

Jangan katakan kepada anakmu: "Jangan tidur miring ke kiri".
Tapi katakanlah: "Rasulullah mengajarkan kita untuk tidur miring ke arah kanan". Jangan katakan kepada anakmu: "

Jangan makan coklat, supaya gigimu tidak sakit".
Tapi katakanlah: "Aku izinkan kamu untuk makan coklat sekali-sekali, karena kamu pintar dan selalu mau membersihkan gigi".