Friday 10 May 2013

Nasi Kotak Milik Ibu


Hari ini kampusku – sebuah kampus diploma keuangan di bilangan Tangerang Selatan – mengadakan seminar mengenai perpajakan. Seminar kali ini membahas serba-serbi anggapan masyarakat mengenai pajak. Acara berlangsung sehari penuh sehingga aku dan peserta lainnya dibekali makan siang oleh panitia. Saat acara selesai, setiap yang hadir diserahkan masing-masing sebuah kotak berisi makan siang. Aku pulang dengan wajah sumringah. Walaupun belum akan menikmati nasi beserta lauk yang telah dibungkus rapi ini hingga magrib, setidaknya aku tau bahwa buka puasaku hari ini akan nikmat.

Magrib menjelang, selesai menunaikan kewajiban shalat mataku langsung tertuju pada kotak karton yang kuterima siang tadi. Sebuah kotak karton yang tidak terlalu besar yang penutupnya tercetak nama restoran prasmanan asal tanah sunda. Aku buka kotak tersebut perlahan. Aroma semerbak tak lagi mengepul keluar. Barangkali karena sudah terlalu lama dibiarkan dan telah dingin sehingga apapun yang ada didalamnya tidak lagi beraroma.

Kuciumi bau lauk beserta nasinya yang berada dalamnya. Yakin belum basi, aku mulai melahap satu-persatu isi nasi kotak itu. Nasi putih, ayam bakar, tahu goreng, singkong rebus, dan timun. Sesuap demi sesuap ku lahap semua makanan yang ada di dalam kotak karton itu hingga tak tersisa sedikitpun. Aku kombinasikan pula lauk-lauknya di setiap suapan agar kutemukan citarasa luar biasa di lidah. Aku benar-benar kelaparan hari ini. Aku belum makan apapun seharian.

Nasi kotak memang selalu menggoda seleraku. Ini tak lepas dari kejadian di masa kecilku yang selalu kuingat hingga hari ini. Saat ibu pulang dengan nasi kotak di tangannya. Ibuku adalah seorang guru di Sekolah Dasar Negeri di desa Gantiang, sebuah desa yang berjarak tempuh satu jam dari rumah. Karena jarak yang cukup jauh serta moda transportasi yang  sulit di desa, ibu selalu berangkat pagi-pagi sekali. Biasanya saat aku telah berseragam putih merah lengkap, ibu telah meninggalkan rumah.

Seringkali ibu belum berangkat ketika aku pergi ke sekolah. Jika hari itu tiba, aku segera tahu bahwa ibu akan menghadiri pelatihan atau lokakarya di kecamatan. Jarak kecamatan tidak jauh dari rumah sehingga ibu tidak perlu repot berangkat terlalu dini. Hari itupun menjadi hari yang membahagiakan bagiku. Karena setiap kali mengikuti kegiatan tersebut, ibu akan pulang membawa buah tangan yaitu bermacam-macam makanan ringan yang ibu dapatkan disana.  Saat itu, saat ekonomi keluargaku masih sulit, makanan semacam itu adalah barang langka yang tidak kudapatkan setiap hari. Sepertinya ibu sangat tahu akan hal itu. Itulah kenapa sepulang dari pelatihan ataupun lokakarya, ibu tak alpa menyimpan snacknya dan membawanya pulang untuk kami, untukku serta untuk adik dan abangku.

Jika ibu pulang dari seminar lebih sore, biasanya ibu membawa nasi kotak, ya, sebuah nasi kotak. Nasi kotak inilah yang selalu kami tunggu-tunggu. Bertiga, kami saling berbagi. Tidak banyak memang yang kami dapatkan setelah dibagi tiga, tetapi entah kenapa nasi kotak yang ibu bawa selalu cukup dan yang paling penting selalu nikmat. Entah karena pengusaha kateringnya memang ahli memasak ataukah karena pengorbanan ibu menahan lapar agar anak-anaknya dapat menikmati nasi kotak yang penuh gizi ini yang membuat rasanya menjadi lebih lezat. Aku tak tahu, aku tidak peduli saat itu.

Sepuluh tahun berlalu sudah. Malam ini aku menikmati nasi kotakku sendiri. Rasa lapar yang sangat sebelumnya telah berganti dengan rasa kenyang. Sejenak aku berpikir dan kemudian aku tersadar. Aku tersadar bahwa apa yang ibu lakukan dulu adalah bentuk pengorbanannya, wujud rasa cintanya pada kami. Bahwa rasa lapar yang kurasakan sejak tadi, itu pulalah yang ibu rasakan saat ibu memutuskan menyimpan nasi kotaknya demi anak-anaknya. “Wahai ibu, tak pernahkah kau dahulukan dirimu barang sekalipun”, lirihku. Bulir-bulir airmataku mulai menetes. Sepuluh tahun, butuh waktu sepuluh tahun bagiku untuk menyadari  besarnya pengorbanan dan cinta ibu dalam nasi kotak kecil itu.

Sekarang aku disini, di semester terakhir sekolah kedinasan ini. Di depanku tempampang masa depan yang menjanjikan. Lagi, jika tanpa doa ibu semua ini mimpi belaka. Semoga apa yang telah kuraih saat ini kalaupun tidak akan mengembalikan tenaga ibu yang terbuang akibat membesarkanku, atau mengembalikan rambut hitam ibu yang semakin hari makin memutih karena memikirkan tingkahku, atau mengembalikan tangan halus ibu yang telah kasar karena bekerja siang dan malam, setidaknya aku harap semua ini bisa menjadi pengelap keringat ibu, walau hanya setetes.

Ya Rabb, masukkan ibu ke dalam surga-Nya, tempat orang-orang mulia seperti ibu diberi karma. Pinta disetiap akhir sujudku. Kuakhiri kisah ini.


Jurangmangu, 13 Jumadil Akhir
Dibawah naungan purnama, di dalan kamar tempatku menyusun hari tua.

No comments:

Post a Comment